Kamis 08 Aug 2019 00:00 WIB

BIN: Prajurit TNI Terpapar Radikalisme Harus Disterilisasi

Prajurit terpapar radikalisme akan diverifikasi.

Rep: Antara/ Red: Ani Nursalikah
Juru Bicara Badan Intelijen Negara (BIN), Wawan Purwanto.
Foto: Republika/Inas Widyanuratikah
Juru Bicara Badan Intelijen Negara (BIN), Wawan Purwanto.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru bicara Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan H. Purwanto menyebutkan prajurit TNI yang terpapar radikalisme harus disterilisasi agar mencintai kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

"Saat ini memang diperlukan adanya upaya sterilisasi terhadap orang-orang yang terpapar ideologi lain selain Pancasila," kata Wawan di sela-sela diskusi kebangsaan Quo Vadis Indonesia yang digelar Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IP-KI) bersama Uniti Indonesia di Museum Nasional, Jakarta, Rabu (7/8).

Baca Juga

Wawan mengatakan hal itu menanggapi pernyataan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu yang menyebutkan tiga persen anggota TNI terpapar radikalisme lantaran sikapnya sudah tidak berpegang lagi pada nilai-nilai Pancasila. "Itu tentu ada dasarnya menteri menyatakan seperti itu. Diupayakan supaya ada sterilisasi supaya tidak meluas dan melebar," kata Wawan.

Nantinya, kata dia, akan ada verifikasi siapa-siapa saja yang sudah terpapar ideologi radikal tersebut. "Nanti akan diverifikasi mana-mana yang terpapar dan tentu akan ada tindakan oleh ankum, yakni atasan yang berwenang menghukum. Semuanya nanti akan bergerak sesuai dengan tugas dan kewenangannya masing-masing," ucapnya.

Dengan langkah-langkah tersebut, dia berharap agar pemikiran ideologi di luar Pancasila menjadi netral, atau bahkan dapat kembali mendukung NKRI. "Harus diupayakan supaya bisa menjadi netral. Syukur malah jadi mendukung kembali NKRI sehingga ini menjadi menjadi kewajiban kita semua supaya satu visi dan misi bahwa kecintaan NKRI harga mati. Masalah radikalisme menjadi peringatan bagi kita semua, ini sungguh merupakan ancaman dan itu tidak boleh terjadi," ujar Wawan.

Berdasarkan data dari Kementerian Pertahanan tiga persen prajurit TNI terpapar radikalisme. Selain itu, 18 persen pegawai swasta menolak ideologi Pancasila serta 19 persen pegawai BUMN dan pegawai negeri sipil menolak ideologi Pancasila.

"Yang paling sedih lebih dari 23 persen pelajar, generasi penerus kita dan mahasiswa tidak peduli dengan Pancasila, bahkan mendukung Indonesia menjadi negara khilafah," kata Ketua Umum Yayasan Solusi Pemersatu Bangsa Baskara Sukarya di tempat yang sama.

Menurut dia, fakta-fakta yang terungkap dari Kementerian Pertahanan itu harus dicermati dan perlu dicari solusinya. Generasi penerus yang akan memegang estafet keberlanjutan bernegara tentu harus dibekali kembali dengan pendidikan bagaimana menghidupkan kembali pendidikan, penghayatan dan pengamalan Pancasila.

"Kita harus membuat kurikulum yang membangkitkan rasa nasionalisme, rasa cinta bela terhadap negara, dan menghormati budaya, serta kearifan lokal yang telah ditinggalkan para leluhur kita agar bisa teladan sebagai insan Pancasila. Kita harus Bhinneka Tunggal Ika," kata Baskara.

Mengenai adanya prajurit TNI yang terpapar radikalisme, sejarawan Anhar Gonggong mengatakan Mabes TNI harus meningkatkan tingkat kedisiplinannya terhadap prajurit. Begitu pun tentang pengajaran Pancasila, harus ditingkatkan.

"Itu artinya tingkat kedisiplinannya harus ditingkatkan, pengajaran pada Pancasila juga harus ditingkatkan," kata Anhar.

Menurut Anhar, bila Pancasila dijalankan secara benar, tidak ada masyarakat yang melakukan perbuatan yang menyimpang, melakukan korupsi, dan terpapar radikalisme. "Karena Pancasila mau membangun dunia sejahtera. Jadi, ketika masih ada koruptor, masih ada kemiskinan dan radikalisme, yang dibangun sikap anti-Pancasila. Pemerintah harus membumikan Pancasila," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement