Rabu 07 Aug 2019 10:56 WIB

Cerita dari Blora untuk Mbah Moen

Mbah Moen sebagai personifikasi begawan yang mampu berdiri di segala penjuru.

Teladan Mbah Moen
Foto:

Kenangan tiada terperi

Saya benar-benar teringat, sepeninggal Abah saya, Mbah Moen masih kerap mampir ke rumah dan bertemu dengan kakak saya, KH Imam Muzakka Ihsan. Saya ditinggal wafat Abah saya ketika duduk di kelas 4 sekolah dasar. Jadilah saya menyandang sebagai yatim.

Belum lama saya sebagai yatim, suatu petang menjelang Maghrib, Mbah Moen tiba-tiba datang ke rumah dan langsung ke mushala. Saat itu, saya sedang mengaji. Mbah Moen berjalan mendekati saya lalu memegang dan mengelus kepala saya seraya berdoa.

Mbah Moen komat-kamit melantunkan doa. Yang saya tahu, doa berbahasa Arab dan diucapkan beliau dengan fasih. Mbah Moen tentu mafhum, bagaimana memperlakukan seorang anak yatim sesuai dalil syar’i terlebih ‘yatim anyaran’ seperti saya waktu itu.

Setelah wafatnya Abah saya, saya masih sering diajak kakak saya sowan ke Mbah Moen di Sarang. Sekadar silaturahim karena kerinduan dan demi meneruskan pertalian kekerabatan. Kadang juga ada keperluan praktis untuk minta wejangan Mbah Moen.

Mbah Moen kadang juga masih mampir ke rumah saya dan bertemu dengan kakak saya. Saya yang kala itu masih ‘anak ingusan’ tak jarang ikut nimbrung setelah mencium kedua belah tangan Mbah Moen.

photo
Jàmaah haji asal Indonesia ikut menghadiri prosesi pemakaman KH Maimoen Zubair di pemamakan Ma'la, kawasan Dahlatul Jin, Makkah, Selasa (6/8).

Dalam satu kesempatan, saya yang saat itu berstatus mahasiswa berdua bersama kakak saya sowan ke Mbah Moen. Sore saya tiba di Sarang dan langsung menuju rumah Mbah Moen yang berimpitan dengan gothakan santri.

Ruang tamu Mbah Moen sejak saya kecil hingga dewasa tampak tak berubah. Sederhana tetapi memancarkan sinaran keakraban dan keberkahan. Beruntung, tamu sepi. Saya dan kakak saya langsung diterima Mbah Moen. Jadi, hanya bertiga di ruang tamu.

Setelah sekira hampir satu jam, saya dan kakak saya mohon diri pamit. Sebelum pamit, tak disangka Mbah Moen memberikan doa kepada saya. Padahal, saya tidak minta doa ke Mbah Moen.

Mungkin Mbah Moen yang sudah ‘ma’rifat’ dan ‘mukasyafah’ ini tahu apa yang dibutuhkan untuk jadi pegangan buat saya yang dhaif ini. Saya pun diimlak untuk merapalkan doa.

Mbah Moen berpesan agar doa itu dibaca khususnya saat mau pergi atau ada hal-hal yang mendesak. Hingga kini, doa itu masih terus saya lafalkan. Waktu terus berjalan. Selang puluhan tahun, ibu saya menyusul Abah saya, dipanggil Allah Robbul Alamin.

Saat itu, saya baru menyelesaikan fresh graduate dari Yogyakarta. Pagi-pagi saat jenazah ibu saya dimandikan, Mbah Moen mendadak hadir bertakziah. Saya yang masih limbung meratapi kepergian ibu saya itu cukup dibuat kaget.

Kontan saya menghampiri Mbah Moen dan langsung duduk bersimpuh di pangkuannya sambil menangis sejadi-jadinya. Saya ciumi tangan dan lutut beliau. Beliau merangkul saya dengan menundukkan kepala seraya memanjatkan doa.

Acara haul untuk Abah saya yang dihelat setiap tahun kala itu, sudah langganan mengundang Mbah Moen, sebagai penceramahnya. Mbah Moen selalu memprioritaskan datang biarpun ada undangan pengajian lain.

Pengajian menjadi daya tarik sendiri dengan menghadirkan Mbah Moen sehingga selalu dijubeli ribuan pengunjung. Menariknya, dalam setiap ceramahnya di haul itu, Mbah Moen mengudar sejarah dari mulai ‘Babad Tanah Timur Tengah’ hingga ‘Babah Tanah Nusantara’.

Sejarah Timur Tengah disambungkan dengan sejarah nusantara. Mbah Moen begitu hafal di luar kepala bahkan untuk urusan lekuk-lekuk wilayah negeri dari Irak sampai Saudi. Padahal, waktu itu masih sangat langka dai yang mampu menjelaskan sejarah seperti itu.

Ala kulli hal, kita kehilangan tokoh bangsa yang bijak bestari, yang bisa diterima semua kalangan. Saya cukup tersentak mendapat kiriman WhatsApp dari seorang eks napiter dari Poso ucapan belasungkawa atas wafatnya Mbah Moen.

Banyak pula ‘Ikhwan’ yang mengirim ucapan senada. Mereka merasa kehilangan ulama panutan, kendati tidak berasal dari ‘jaringan’ keulamaan yang dirujuk mereka.

Jejak-jejak hikmah Mbah Moen bila ditulis seolah tiada habisnya. Di ujung remujung ini, izinkan saya menumpahkan penyesalan. Tahun 2011, saya didapuk untuk menulis biografi Mbah Moen. Outline sudah saya siapkan dengan rapi.

Dua kali saya ke Sarang dan sudah siap berlama-lama ngendon di sana untuk wawancara dan menghimpun data. Gus Kamil putra Mbah Mun yang menikah dengan saudara saya sudah siap ‘menampung’ saya tidur di rumahnya.

Tapi apa dikata, gagal total, gara-garanya, ‘funding’ tidak jadi mengucurkan dana. Duh biyung, bukan karena itu saya menyesal, melainkan gara-gara ‘niat’ saya yang cari ‘proyek’. Maafkan, Mbah Moen. Lahul al-Fatihah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement