Rabu 07 Aug 2019 10:56 WIB

Cerita dari Blora untuk Mbah Moen

Mbah Moen sebagai personifikasi begawan yang mampu berdiri di segala penjuru.

Teladan Mbah Moen
Foto: Republika
Teladan Mbah Moen

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Soffa Ihsan, Marbot di Lembaga Daulat Bangsa dan Rumah Daulat Buku (Rudalku), Komunitas Literasi Eksnapiter

Selasa, 6 Agustus 2019 sekira pukul 09.00 WIB, saya asyik melotot mata di depan laptop. Tiba-tiba ada bunyi di ponsel saya tanda WhatsApp masuk. Saya baca “Innalillahi wa innailaihi roji’un...nembe kapundut KH Maimoen Zubair selasa di Makkah jam 04.17”.

Blarrr, hati saya seperti tergodam. Saya tercekat tak mampu bersuara. Sambil menyandar di kursi dengan kaki mengangkang di meja, saya tercenung. Saya terisak tak kuat menahan sedih. Maut al-‘alim maut al-‘alam, wafatnya seorang alim berarti matinya alam.

Yah, bulir air mata yang kian menderas sontak menggeret ingatan saya pada masa kecil di Blora, Jawa Tengah. Selaksa membuka ‘kotak pandora’ mendadak nyaris menghambur semua serpih kenangan indah tersambung dengan sosok KH Maimoen Zubair.

Bayang-bayang postur, gestur, dan cara komunikasi KH Maimoen Zubair masih tertancap dalam benak saya dan makin mengiang nan menderu. Duhai waktu, seandainya engkau mampu mengembalikan masa itu!

Kekerabatan ala santri

Sungguh, masih terpahat dalam ingatan saya, kala itu, saat saya masih kecil bersama Abah saya kerap bertandang ke Pesantren Al Anwar, Sarang, tempat di mana Mbah Moen,--begitu sapaan sohor untuk KH Maimoen Zubair--bermukim dan mengajar para santri. Demikian pula, terkenang saat Mbah Moen sering mampir ke rumah saya di Blora menemui Abah saya. Abah saya KH Ihsan Fadhil memang akrab dengan Mbah Moen. Usia Mbah Moen lebih muda dari Abah saya.

Mbah Moen saat itu sudah dikenal di seantero daerah sebagai kiai kharismatis dan juru dakwah piawai. Mbah Moen juga sering diundang ‘ngisi pengajian’ di desa-desa sekitar Blora.

Sementara Abah saya, hanya seorang ‘kiai kampung’ yang ngajar ngaji masyarakat sekitar dan kadang dakwah lewat pengajian di desa-desa. Kedekatan Abah saya dengan Mbah Moen juga direkati dalam jejaring NU.

Mbah Moen menjadi tokoh di jajaran NU, sedangkan Abah saya, rois syuriah PCNU Blora. Ini keberuntungan buat saya, semenjak kecil sudah dihadapkan dengan teladan sosok-sosok yang bergulat dalam ‘kerja peradaban’ lewat keaktifan mengajar ke masyarakat.

photo
Jenazah KH Maimoen Zubair tiba di Kantor Urusan Haji Indonesia Makkah, Selasa (6/8). Jenazah akan dishalatkan terlebih dahulu di Kantor Urusan Haji Indonesia Makkah sebelum dibawa ke Masjid Al Haram untuk dishalatkan lagi di sana.

Kedekatan keluarga saya dengan Mbah Moen terasa semakin membentuk seperti dalam terma antropologi, yaitu kekerabatan. Anak keturunan Abah saya yang tinggal di sebuah kecamatan di Bangilan, Tuban, Jatim, secara lebih intensif membangun hubungan makin karib. Anak-anak mereka seperti berhukum ‘wajib’ nyantri di pesantren Al-Anwar, Sarang.

Saya sendiri yang ‘nyeberang’ tidak nyantri di Mbah Moen, tapi di Jawa Timur dan Yogyakarta. Untuk urusan perjodohan, juga teranyam sedemikian rupa. Ada keponakan saya, yang anaknya dijodohkan dengan ‘sopir’-nya Mbah Moen.

Ada juga, anaknya keponakan saya yang dipinang oleh putra Mbah Moen, yaitu Gus Kamil dan kini memiliki tujuh anak. Keponakan saya, menikah dengan seorang ‘Gus’ dari pesantren di Tegal yang lulusan pesantrennya Mbah Moen.

Di Blora, khususnya di lingkungan masyarakat santri, posisi kiai cukup menjadi tumpuan dalam banyak hal. Bukan hanya soal agama melainkan juga urusan ‘keduniawian’. Pokoknya banyak cerita santri Blora yang permintaannya lucu-lucu saat sowan ke Mbah Moen. Dan ajibnya, Mbah Moen menindaki segala keluhan dan urusan masyarakat yang datang dengan penuh kearifan dan kelembutan.

Ya, Mbah Moen sebagai personifikasi begawan yang mampu berdiri di segala penjuru dengan mutiara manikamnya. Posisi kiai sebagaimana pernah ditulis oleh antropolog Clifford Geertz (2014) sebagai cultural broker.

Kiai menyambungkan budaya dengan keagamaan dan itu dijelaskan dengan renyah sesuai kadar pemahaman masyarakat sehingga tidak terjadi ‘benturan’ antara budaya dan ajaran agama. Dalam ungkapan MC Ricklefs (2013), ketika terjadi ketegangan santri-abangan yang meruncing, tetapi posisi kiai tetap mendapat penghormatan yang tinggi dalam masyarakat pedesaan Jawa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement