REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengatakan bahwa pernikahan kini menjadi modus terbaru yang dilakukan kelompok sindikat internasional perdagangan manusia, utamanya asal China. Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengatakan, di berbagai negara ada ribuan perempuan yang menjadi korban trafficking, seperti di Korea Utara dan Pakistan.
"Korban kemudian di bawa ke negerinya kemudian di sana bisa jadi apa pun, pekerja rumah tangga dan pekerja-pekerja lainnya," ungkap Edwin dalam konferensi pers di Cijantung, Jakarta Timur, Senin.
Menurut Edwin, modus tersebut digunakan oleh kelompok internasional untuk menjaring banyak perempuan. LPSK telah menggagalkan penerbangan dua orang dari Pontianak, Kalimantan Barat, yang akan diterbangkan ke China melalui Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
Namun demikian, sudah ada beberapa orang yang terjerat modus pernikahan dan dikirim ke China. Di sana, mereka dijadikan pekerja kasar bahkan pekerja seks komersial (PSK) yang terkadang tidak mendapatkan upah sepeser pun karena dikatakan sudah terikat pernikahan.
"Orang dijanjikan dinikahkan, dengan mimpi akan mengubah hidupnya, mengubah nasib keluarganya. Tapi kenyataannya, dia bisa dijadikan apa saja, jadi PRT, jadi pekerja seksual dan keluarganya tidak tahu apa-apa. Tahunya, sudah jadi istri orang," ungkap Edwin.
Berdasarkan data LPSK, dalam periode 2015-2019 ada 318 korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang ditangani. Korban berasal dari lima daerah teratas, yaitu Jawa Barat (118 korban), Nusa Tenggara Barat (42 korban), Jawa Tengah (32 korban), Nusa Tenggara Timur (27 korban), dan Banten (16 korban).
Para korban itu kemudian dikirim ke dalam dan luar negeri. Di dalam negeri, mereka disebar ke DKI Jakarta, Maluku, Bali, Jawa Timur dan Sumatra Utara dan untuk target internasional, selain China, terdapat juga tujuan Malaysia, Arab Saudi, Korea Selatan, dan Turki.