Senin 05 Aug 2019 17:50 WIB

Mungkinkah Gempa Bumi Menjalar dan Saling Picu?

Gejala menjalarnya gempa bumi, secara ilmiah, masih sulit diterangkan.

Ilustrasi gempa di Indonesia
Ilustrasi gempa di Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr Daryono (Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG)

Rentetan gempa bumi yang melanda di berbagai tempat di berbagai daerah di Indonesia akhir-akhir memberi kesan seakan-akan Bumi Nusantara sedang gelisah. Orang awam pun akhirnya beranggapan bahwa gempa pada waktu tertentu dapat menjalar ke mana-mana. Misalnya, gempa dari Lombok "menyeberang" ke Palu, kemudian dari Papua menerjang Maluku utara, Halmahera Selatan, Sumbawa, Bali, dan Banten, kemudian entah selanjutnya ke mana lagi.

Baca Juga

Pascagempa Banten M 6,9 pada 2 Agustus lalu, kini berkembang berita yang viral di media sosial bahwa akan terjadi gempa besar megathrust berkekuatan M 9,0 dan mereaktivasi sesar aktif Baribis.

Gejala “menjalarnya” atau “migrasi” gempa dari tempat ke tempat lain, secara ilmiah masih sulit diterangkan.

Hingga saat ini, kita lebih mudah mengkaji aktivitas gempa dalam aspek spasial dan temporal daripada mengkaji perubahan dan perpindahan tegangan (stress) di kulit bumi. Inilah mengapa sangat sulit menerangkan secara empiris dugaan sebagian orang bahwa gempa saling berhubungan dan dapat menjalar kesana kemari.

Ada sebagian pakar berpendapat, perubahan pola tegangan regional (regional stress pattern) mungkin dapat menerangkan gejala ini. Tetapi nyatanya, hingga saat ini bagaimana memodelkan hal itu masih sulit dilakukan. Namun demikian dalam perkembangan ilmu kegempaan, setidaknya sudah ada 2 teori pemicuan antar gempa, yaitu pemicuan yang bersifat statis (permanen) dan pemicuan yang bersifat dinamis (yang berpindah).

Pemicuan yang bersifat statis dapat terjadi pada gempa-gempa yang sangat dekat lokasinya, sebagai contoh adalah munculnya gempa-gempa baru di Lombok di bagian barat dan timur yang diduga kuat akibat pemicuan gempa yang bersifat statis (static stress transfer) dari gempa Lombok M 7,0 yang terjadi sebelumnya.

Transfer tegangan statis ini berkurang secara cepat terhadap jarak dan disebabkan oleh perpindahan patahan yang permanen.

Sementara itu, untuk pemicuan dinamis, bisa berkaitan dengan gempa-gempa dekat dan jauh. Transfer tegangan dinamis ini nilainya lebih kecil, berkurang dengan melambat terhadap jarak dan merupakan tegangan yang dibawa oleh gelombang seismik melalui batuan. Konsep pemicuan dinamis ini lebih sering dikaitkan dengan potensi gempa yang dipicu dari jarak jauh.

Karena nilai transfer tegangannya kecil, maka syarat utama yang paling dibutuhkan adalah patahan yang terpicu harus benar-benar berada di titik paling kritisnya, sehingga sedikit saja "dicolek" oleh perubahan tegangan (yang kecil), patahan langsung memicu gempa.

Konsep pemicuan dinamis ini sangat rumit. Banyak syarat yang harus terpenuhi untuk bisa mengatakan pemicuan dinamis terjadi. Maka dari itu, bagi mereka yang paham betul ilmu gempa (seismologi) justru semakin berhati-hati. Tidak mudah dengan entengnya mengatakan sebuah gempa dapat dipicu oleh gempa lain.

Apalagi, hanya menduga-duga dan mencocok-cocokkan ("cocokologi") antara satu gempa dengan gempa lain. Seolah-olah, antargempa dengan mudah saling berkaitan dan dengan mudah saling picu.

Masih sangat sulit menjelaskan secara empiris kaitan antarkejadian gempa yang terjadi. Yang pasti, seluruh peristiwa gempa akhir-akhir ini terjadi di zona rawan gempa. Ini tentu hal biasa dan wajar sehingga, jika ada kejadian gempa yang hampir bersamaan, itu lebih kepada faktor kebetulan saja.

photo
Daryono, Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG (Dok. Ist)

Masing masing sumber gempa tentu memiliki medan tegangan sendiri-sendiri dan mencapai tingkat akumulasi maksimum (matang) yang hampir bersamaan, sehinga mengalami pelepasan energi sendiri-sendiri yang dimanifestasikan dalam kejadian gempa yang mungkin saja terjadi hampir berbarengan.

Namun demikian, yang terpenting adalah bagaimana mengidentifikasi berbagai bencana gempa bumi yang pernah terjadi. Ini penting agar setiap peristiwa gempa bumi menghasilkan pembelajaran untuk perbaikan mitigasi ke depan.

Dengan begitu, kita mampu memperkecil risiko, dapat menekan jumlah korban, kerusakan, dan kerugian jika terjadi gempa kuat di kemudian hari.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement