Selasa 06 Aug 2019 05:01 WIB

Oglangan Listrik Hingga Bayangan Jakarta tanpa Suara Azan

Persoalan listrik mati ternyata soal serius, misalnya membuat adzan tak terdengar.

Menara masjid tempat adzan berkumandang
Foto: alaraby.com
Menara masjid tempat adzan berkumandang

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Lumpuhnya pasokan listrik di Jakarta, Banten, dan berbagai tempat lainnya di Jawa menjadi renungan yang menarik. Kini tiba-tiba orang moderen kebingungan terhadap hidupnya yang segalanya pakai listrik. Akibatnya, ketika pasokan daya listrik macet, mereka merasa hidup kembali ke zaman batu. Apalagi bagi penggila internet, tak ada listrik berati hidup tanpa internet, artinya kemudian tak ada kehidupan. Minimal, banyak orang yang seharian tak bisa mandi karena mesin airnya mati.

Apakah ini sabotase? Walhualam jawabnya. Tapi yang jelas kini para ahli strategi perang tahu bagaimana dengan mudahnya sebuah peradaban masa kini buntu alias majal akibat tak ada listrik. Tak perlu diserbu pasukan bersenjata canggih, cukup merusak turbin pembangkit listrik musuh menjadi kocar-kacir. Skenario sebuah perang masa kini ternyata sederhana saja, mirip hidangan warung Tegal: mudah, murah, sekaligus meriah.

Soal ini pun sudah sempat dicermati mendiang dedengkot Apple, Steve Job. Pria Amerika berdarah Lebanon ini jauh-jauh hari sudah mengatakan: Pada akhirnya perang setelah melewati zaman yang canggih-canggih, akan kembali ke cara berperang dengan masa awal yang mengandalkan manual. Manusia ahirnya nanti berperang akan memakai tombak, pedang, kuda, seperti zaman dahulu kala.

Apakah ini sudah dipraktikan? Jawabnya sudah. Lihat saja ketika melihat cara Usamah Bin Ladin melepaskan diri dari kejaran dan penciuman mata-mata tentara Amerika dan sekutunya. Dia ternyata membuang semua perangkat eletronik, apalagi internet. Dia paham kalau pakai perangkat itu dia akan mudah disadap dan lokasi perembunyiannya ditemukan.

Berkat cara 'hidup manual' ini Usamah pun bisa hidup nyaman bertahun-tahun di Kandahar. Bayangkan di kota kecil di Pakistan yang dekat dengan markas tentara itu, dedengkot orang yang paling dicari Amerika Serikat nyaman bersembunyi di sebuah bangunan yang luas. Dan asal muasal penangkapannya pun bukan karena dia pakai cara manual, tapi gegera salah satu penghubungnya ada yang menggunakan telepon selular. Dari situlah jejak Usamah berhasil diketahui. Orang sama sekali tak menyangka di jalanan Kandahar yang cenderung sepi dan udik yang banyak dilintasi keledai, bahkan onta, serta ladang pertanian gandum dan jeruk, Usamah ada di sana.

Lalu bagaimana Usamah menyampaikan pesan kepada jaringannya? Jawabnya sederhana, dia melalui orang-perorang atau ‘wakala’. Ini persis sepeti zaman Kekhalifahan Otoman dahulu. Pesan dikirim secara berantai. Bahkan, uang pun dikirim atas dasar kepercayaan, bukan melalui pos atau wesel apalagi transer antarbank yang ujung-ujungnya memakai perangkat elektronik. Semua kembali ke zaman 'normal', yakni zaman yang masih serba sederhana.

Tapi di atas itu semua, ada perenungan bernas ketika suara adzan mendadak menghilang di langit Jakarta. Ingatan ini kemudian melayang kepada polemik sebuah buku yang bertajuk: Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam? (World Without Muslim). Buku ini ditulis  Graham E. Fuller pada 210,

Hasil gambar untuk world without muslim

Buku ini ramai dibicarkan publik dunia. Bahkan  penulis kondang, John L. Esposito, yang sempat mashur dengan bukunya ‘ Masa Depan Islam dan Saatnya Muslim Bicara’ mengomentarinya dengan antusias. Katanya, buku Fuller ini merupakan karya paling ‘steril’ alias apa adanya setelah persitwa robohnya menara kembar 11 September di New York itu.

"Karya itu salah satu otoritas paling terkemuka tentang perpolitikan Muslim global. Menyajikan analisis provokatif tentang hubungan Muslim-Barat sejak munculnya Islam." kata John L. Esposito.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement