Senin 05 Aug 2019 05:16 WIB

Al-Azhar, Moderasi Islam, dan Pancasila

Moderasi Islam kian menjadi penting sebab dunia kini sedang dikoyak berbagai paham

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri

Acara pada 30 Juli lalu itu cukup sederhana. Tempatnya pun di Pesantren Khusus Yatim As-Syafiiyah, Jatiwaringin, Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat. Namun, acara tersebut sebenarnya sangat penting, yakni peresmian Pusat Studi Islam dan Bahasa Arab (Pusiba) al-Azhar di Indonesia. Disebut penting karena di sinilah akan digembleng calon mahasiswa Indonesia yang akan menuntut ilmu ke al-Azhar--sebuah universitas Islam terkemuka dunia di Mesir yang usianya lebih dari seribu tahun.

Terdapat dua hal yang digarap Pusiba. Pertama, soal bahasa Arab. Di sini calon mahasiswa akan diajarkan bahasa Arab dengan standar al-Azhar, dalam arti mereka yang sudah lulus dari Pusiba akan langsung bisa diterima masuk Univesitas al-Azhar. Tenaga pengajarnya pun tidak main-main, yakni orang Mesir dan Indonesia yang sudah mendapat sertifikat mengajar bahasa Arab dari al-Azhar.

Selama ini mahasiswa Indonesia yang akan menuntut ilmu ke al-Azhar banyak yang terjun bebas. Mereka kemudian masuk ke Markaz Lughoh (Pusat Bahasa) al-Azhar, sebagai persiapan bahasa sebelum bisa diterima di universitas. Persiapan ini bisa setahun atau lebih, bergantung pada kemampuan bahasa masing-masing.

Dalam bahasa Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, masa tunggu kuliah (persiapan bahasa) itu sangat rawan memunculkan berbagai persoalan, dari masalah ekonomi, sosial, keamanan, keimigrasian, dan lainnya

Kedua, soal moderasi (wasathiyah) Islam yang menjadi jiwa dan roh al-Azhar. Dengan sikap wasathiyah ini, al-Azhar telah membuktikan diri sebagai referensi utama intelektual dan spiritual umat Islam dunia, dari dahulu hingga sekarang.

Moderasi Islam kian menjadi penting sebab dunia kini sedang dikoyak oleh berbagai paham, aliran, dan kelompok yang serbaekstrem, baik kanan maupun kiri. Dari liberalisme, antiagama, hingga Islamofobia. Dari takfiri (menganggap orang lain kafir), tadhlili (menganggap orang lain sesat), hingga yang menganggap dirinya paling benar dan orang lain salah atau hanya dirinya sendiri yang masuk surga dan orang lain masuk neraka.

Di Indonesia, sikap wasathiyah atau moderasi Islam al-Azhar bisa dilacak dari jejak langkah ribuan alumninya sejak sebelum kemerdekaan hingga kini. Dari Presiden keempat RI KH Abdurrahman Wahid, KH Dr Quraish Shihab, KH Mustofa Bisri (Gus Mus), hingga Tuan Guru Bajang (TGB) Dr Muhammad Zainul Majdi, Habiburrahman El Shirazy, dan Ustaz Abdul Somad. Tiga nama terakhir merupakan generasi muda alumni al-Azhar yang sedang menjadi bintang.

TGB adalah mantan gubernur dua periode yang berhasil membangun Nusa Tenggara Barat. Ia kini Ketua World Organization of al-Azhar Graduates (Organisasi Internasional Alumni al-Azhar/OIAA) untuk Indonesia. Dia sekarang juga aktif berkeliling ke berbagai daerah untuk berdakwah, menebarkan kedamaian, dan memperkokoh moderasi Islam. Sementara itu, Habiburrahman merupakan novelis top yang juga seorang dai.

Penulisan nama-nama di atas sekadar menyebut contoh. Alumni-alumni al-Azhar lainnya--kini jumlahnya lebih dari 30 ribu orang dan tersebar di berbagai daerah di Indonesia--juga sudah banyak berkiprah di masyarakat. Dari dosen, pegawai negeri, pengurus organisasi, pebisnis, hingga ulama, kiai, ustaz, dan lainnya. Minimal alumni al-Azhar akan sangat cakap untuk berkhutbah Jumat. Mereka sangat mumpuni dalam hal konten dan narasi akademik serta keilmuan Islam.

Yang perlu digarisbawahi, di mana pun alumni al-Azhar mengabdi, mereka telah berhasil menerjemahkan Islam moderat di bumi nusantara. Islam moderat yang berarti jalan tengah, toleran, ramah, mengayomi, membawa kedamaian, saling menghormati, dan menerima segala perbedaan; bukan Islam yang justru mengancam, saling menegasikan, dan menebar ketakutan. Sungguh sebuah sikap keagamaan yang kini dibutuhkan Indonesia dalam rangka memperkokoh Pancasila, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 1945.

Di sinilah letak penting Pusiba yang dikelola oleh Organisasi Internasional Alumni al-Azhar (OIAA) untuk Indonesia. Peran penting Pusiba ini tampaknya disadari betul oleh petinggi al-Azhar dan Kementerian Agama Republik Indonesia. Karena itu, Imam Besar al-Azhar Dr Ahmad Tayib perlu mengutus langsung sebuah delegasi al-Azhar untuk menyupervisi dan meresmikan pengoperasian Pusiba bersama Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin.

Delegasi ini dipimpin langsung oleh Deputi Imam Besar al-Azhar, Syekh Dr Saleh Abbas. Ia didampingi Wakil Rektor Universitas al-Azhar Prof Dr Abou El-Amir, penasihat Imam Besar al-Azhar Abdel Dayem Nussair, Wakil Ketua OIAA pusat Usama Yassin, dan para pimpinan Markaz Lughah al-Azhar di Kairo. Imam Besar al-Azhar Dr Ahmad Tayib sendiri baru menjalani pengobatan di Jerman dan Prancis.

Di pihak Indonesia, selain Menteri Lukman dan TGB, yang juga hadir dalam peresmian itu adalah Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Ahmad Muqowwam, Ketua Yayasan Universitas Islam As-Syafiiyah Dr Dailami Firdaus, mantan menteri agama dan Ketua Kehormatan OIAA cabang Indonesia Prof Dr Quraish Shihab, dan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Dr Amani Lubis yang juga alumnus al-Azhar.

Menteri Lukman dalam beberapa kesempatan mengatakan, sebagai menteri agama yang berkepentingan untuk menjaga kerukunan umat, ia merasa terbantu dengan moderasi Islam yang dijalankan para alumni al-Azhar. Ia pun menyambut baik tawaran kerja sama dengan OIAA dan Pusiba, terutama untuk memperkuat pemahaman keagamaan yang moderat di kalangan para pendidik dan ASN (aparatur sipil negara).

Pembentukan Pusiba sendiri tidak lepas dari peran Menteri Lukman. Dalam beberapa kali bertemu dengan Imam Besar al-Azhar, ia mengusulkan agar pendidikan dan pelatihan bahasa Arab bagi calon mahasiswa baru asal Indonesia dilakukan sebelum keberangkatan ke Mesir. Karena itu, ia pun setuju persiapan calon mahasiswa Indonesia yang akan menuntut ilmu di al-Azhar dilakukan melalui satu pintu, yaitu lewat Pusiba.

Pusat Studi Islam dan Bahasa Arab atau Pusiba al-Azhar ini merupakan cabang pertama yang dibuka di luar Mesir. Pusiba dikelola oleh OIAA Indonesia yang merupakan kepanjangan tangan dari OIAA pusat. Dalam pengoperasiannya, Pusiba menjalin kerja sama penggunaan gedung asrama dan ruang belajar dengan Universitas Islam As-Syafiiyah.

Kini terdapat 328 calon mahasiswa di Pusiba. Mereka telah lolos seleksi dari ribuan orang yang mendaftar. Dalam tiga tahun terakhir, ada lebih dari 10 ribu calon mahasiswa yang berkeinginan menuntut ilmu di al-Azhar. Sementara itu, mahasiswa yang kini sedang belajar di al-Azhar, Mesir, berjumlah lebih dari 6.000 orang. Dengan standardisasi dan supervisi langsung dari al-Azhar, Pusiba ke depan diharapkan juga bisa menjadi tempat penggemblengan calon mahasiswa yang ingin belajar di universitas-universitas lain di Timur Tengah.

OIAA Indonesia sendiri sejak dikomandani TGB memang sedang menggeliat, terutama untuk menebarkan moderasi Islam di Indonesia. Selain mengelola Pusiba, OIAA Indonesia juga sedang merancang berbagai kegiatan lain, di antaranya dalam bidang permberdayaan ekonomi umat, siber-dakwah, dan penerbitan buku-buku wasathiyah. Semuanya dalam rangka dakwah Islam berbingkai NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, dan UUD 1945.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement