REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Warga yang mengungkap jual beli data kependudukan di media sosial (medsos) Hendra Hendrawan, menjelaskan sejumlah modus jual beli data kependudukan (data pribadi). Salah satu penyalahgunaan itu bisa menggunakan situs jual beli online.
"Caranya itu, mereka membuat akun di situs jual beli sebagai seorang pembeli. Kemudian, dia nanti pura-pura jadi pembeli, terus meminta data diri kita. Karena dia tuh (seolah) kayak nggak percaya kita tuh penjualnya, jadi dia minta KTP dan selfie KTP, tukeran. Pelaku juga mengirim selfie KTP-nya, tapi selfie yang dipakai tuh data orang lain juga, " ungkap Hendra kepada wartawan di Gedung Pusdiklat LAN-RI, Pejompongan, Jakarta Pusat, Kamis (1/8).
Modus kedua, yakni melalui situs lowongan kerja. Teknis dari modus kedua ini, kata Hendra, sama dengan modus pertama. "Jadi dia (pelaku) semacam membuka lowongan kerja, " tuturnya.
Ketiga, menggunkan laman, bernama 'cekktp'. Lewat aplikasi itu, masyarakat (korban) diminta selfie sambil menunjukkan KTP-el mereka.
"Dan ternyata aplikasi bukan akun official dari pemerintah," tegas Hendra.
Keempat, lanjut dia, modus menggunakan SMS ke nomor masyarakat. "Spam ke nomor kita, nawarin pinjaman dana, nanti kalau kita balas, jaminannya nggak ada, cuma disuruh kirim KTP, dari situ juga bisa. Selain itu, mereka juga bisa datang ke kampung-kampung ngasih beras, sembako. Nanti kalau mau beras, harus mau difotoin sama KTP, difotoin NIK, KKnya, gitu," paparnya.
Sebelumnya, lewat akun Twitter-nya @hendralm, Hendra Hendrawan mengungkapkan informasi terkait adanya jual data pribadi di medsos. Menurut pengakuan Hendra, informasi itu dia dapatkan dari grup Facebook. Hendra mengaku masuk ke dalam salah satu grup Facebook bernama Dream Market Official.
"Jadi kan pertamanya saya lihat dari temen Facebook saya. Teman saya itu dapatnya dari sama-sama suka cari giveaway di Facebook. Nah dia update katanya ketipu mau beli tiket pesawat, pas saya liat komentarnya, dia ketipu dari salah satu anggota grup itu. Ya sudah saya iseng aja masuk grup itu. Saya liat komentarnya ada yang punya satu juta data, lima ribu data juga, awalnya dari situ," tambah Hendra.