Selasa 30 Jul 2019 15:00 WIB

JK: Pemberantasan Korupsi Belum Berhasil

Pemerintah belum berhasil betul menyelesaikan masalah korupsi

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Esthi Maharani
Penyidik KPK menunjukkan barang bukti uang senilai Rp170 juta hasil Operasi Tangkap Tangan (OTT) kasus dugaan suap pengisian jabatan perangkat daerah Pemerintah Kabupaten Kudus tahun 2019 saat konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Sabtu (27/7/2019). KPK menetapkan tiga orang sebagai tersangka, yaitu Bupati Kudus 2018-2023 Muhammad Tamzil, Plt Sekretaris Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Kudus Akhmad Sofyan dan Staf Khusus Bupati Kudus Agus Soeranto dalam kasus tersebut.
Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Penyidik KPK menunjukkan barang bukti uang senilai Rp170 juta hasil Operasi Tangkap Tangan (OTT) kasus dugaan suap pengisian jabatan perangkat daerah Pemerintah Kabupaten Kudus tahun 2019 saat konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Sabtu (27/7/2019). KPK menetapkan tiga orang sebagai tersangka, yaitu Bupati Kudus 2018-2023 Muhammad Tamzil, Plt Sekretaris Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Kudus Akhmad Sofyan dan Staf Khusus Bupati Kudus Agus Soeranto dalam kasus tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengakui sistem penanganan korupsi di Indonesia belum berhasil. Ini menyusul kembali tertangkapnya Bupati Kudus M Tamzil karena kasus korupsi. Tamzil diketahui bekas terdakwa kasus korupsi yang ditangkap saat menjabat sebagai Bupati Kudus periode 2003-2004.

"Kita belum berhasil, semua institusi kita, pemerintah, KPK, belum berhasil betul untuk menyelesaikan masalah-masalah korupsi ini dan ternyata orang pejabat yang belum insyaf gitu," ujar JK saat diwawancarai wartawan di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (30/7).

Padahal menurut JK, putusan hukum kepada Tamzil sebelumnya diharapkan membuatnya jera dan tidak mengulangi perbuatannya. Namun, terulangnya kasus korupsi Tamsil menunjukkan, bupati Kudus tersebut tak merasa jera.

Namun demikian, JK tak sependapat jika penegak hukum menggunakan ancaman hukuman mati kepada Tamzil. JK menilai, ancaman hukuman harus disesuaikan dengan perbuatan Tamzil.

"Ya tergantung hukum. Kalau memang hukum dua kali lebih berat ya (silakan). Tapi tidak bisa langsung hukuman mati dengan hanya Rp 250 juta, Bukan di situ, tergantung hukumnya," ujar JK.

Menurut JK, jika pun ada pemberatan dalam putusan yang dijatuhkan juga tergantung dengan putusan hakim. Ini karena Tamzil dinilai tidak menyesali dan mengulang perbuatan tersebut.

"Tergantung hakim. Kita tidak bisa mengahakimi orang dari luar. Gitu kan. Tapi bahwa dia tidak insyaf ya benar-benar. Tapi sesuai hukumlah, perbuatannya aja," ujar JK.

Terlebih, berdasarkan putusan hakim selama ini, hakim kerap mencabut hak politik terdakwa kasus korupsi. Jika itu terjadi, terdakwa korupsi tidak dapat mencalonkan diri sebagai pejabat politik dalam jangka waktu tertentu.

“Kan ada kriterianya, kalau vonis pengadilan mengatakan dia tidak boleh aktif di politik beberapa tahun ya tidak boleh. Tapi selama dia tidak dilarang (hak politiknya) ya dia bisa (calonkan lagi), gitu kan,”  kata JK.

Sebelumnya, KPK menetapkan Muhammad Tamzil dan dua orang lain sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi terkait jual-beli jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kudus. KPK juga menyita uang hasil jual beli jabatan yang disebut akan digunakan untuk pelunasan cicilan mobil pribadi.

Tamzil diketahui pernah tertangkap dalam kasus korupsi pengadaan sarana dan prasarana pendidikan Kabupaten Kudus tahun 2004. Saat itu, Tamzil divonis 1 tahun 10 bulan oleh Pengadilan Tipikor Semarang dan bebas pada 2015.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement