Kamis 01 Aug 2019 06:31 WIB

Perubahan demi Daya Saing untuk Tingkatkan Iklim Usaha

Berbagai hal dilakukan pemerintah untuk meningkatkan daya saing untuk iklim usaha

Amirudin Bagus
Foto: Dokumen pribadi
Amirudin Bagus

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Amirudin Bagus, KPP Madya Jakarta Barat

Berbagai hal telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan daya saing dan keunggulan dalam berbagai hal untuk iklim usaha yang lebih baik. Salah satunya adalah dengan mengesahkan Undang-undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang merespon kecenderungan menurunnya tarif pajak penghasilan di dunia. Pertanyaannya adalah apakah benar dengan adanya undang-undang ini, yang mereduksi pajak penghasilan, iklim usaha di Indonesia akan lebih baik dan mampu memberikan peningkatan manfaat dan kesejahteraan serta mampu bersaing?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita harus memahami apa yang menjadi ‘spirit’ undang-undang tersebut, yaitu pada pasal 17 yang menjelaskan perubahan tarif PPh Badan dan PPh Orang Pribadi dan pasal 23 yang menjelaskan perubahan tarif PPh Dividen. Perubahan dalam tarif pasal 17 PPh Badan akan sangat terasa bagi perusahaan badan hukum yang labanya di atas Rp 50 miliar karena adanya penurunan tarif PPh Badan dari semula paling tinggi 30 persen menjadi 28 persen pada 2009 dan  menjadi maksimum 25 persen pada 2010.

Sementara itu perubahan tarif PPh Pasal 23 tentang Tarif PPh Dividen terkait dengan tarif pajak penghasilan dividen yang dibayarkan kepada orang pribadi dalam negeri di mana pada tahun 2009 telah mengalami perubahan dari 15 persen menjadi 10 persen. Artinya, apabila dividen dibayarkan kepada pemegang saham, maka pemegang saham akan menikmati keuntungan pembayaran dividen sebesar 5 persen atau mengalami kenaikan pembayaran dividen sebesar 5 persen.

Penurunan tarif pajak PPh Badan akan meningkatkan laba perusahaan. Dengan demikian, mestinya investor akan merepon secara positif saat diumumkannya tarif pajak tersebut.

Untuk memahami berbagai kecenderungan yang terjadi, sekaligus untuk menjawab pertanyaan sebelumnya, kami melakukan studi untuk menginvestigasi apakah memang investor di pasar modal Indonesia merespon informasi penurunan PPh Badan tersebut yang merupakan informasi yang relevan bagi kinerja perusahaan. Jika pasar modal Indonesia adalah pasar yang efisien, maka harga saham akan meningkat pada saat informasi perubahan tarif pajak tersebut diumumkan.

Hal kedua yang diinvestigasi dalam studi ini adalah pengaruh penurunan PPh Dividen terhadap kebijakan dividen perusahaan. Penurunan pajak dividen akan menguntungkan investor yang menerima dividen.

Jika perusahaan memang berkeinginan meningkatkan kekayaan investor, maka perubahan tarif PPh dividen ini akan mendorong perusahaan untuk meningkatkan dividennya. Selain itu kami juga menggali informasi apakah, secara umum. perusahaan akan meningkatkan dividennya setelah adanya penurunan pajak dividen tersebut.

Dividen dipengaruhi oleh pergerakkan saham dan harganya. Harga saham dipengaruhi oleh banyak faktor. Bodie, Kane, dan Marcus (2009) mengelompokkan faktor tersebut menjadi faktor lingkungan makro, faktor industri, dan faktor perusahaan. Pajak dalam pengelompokkan tersebut masuk kategori faktor lingkungan makro sub bidang ekonomi.

Pengaruh pajak terhadap harga saham pada umumnya dikaitkan dengan variabel yang lain. Modigliani dan Miller (1958), misalnya, mengaitkan pajak dengan keputusan struktur modal.

Dalam pasar modal yang tidak ada pajak, keputusan struktur modal tidak berpengaruh terhadap harga saham. Namun dalam model mereka berikutnya, ketika pajak perseroan (PPh Badan) dimasukkan, keputusan struktur modal menjadi relevan dan berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Argumentasinya adalah karena biaya modal yang berasal dari utang, berupa bunga, diakui sebagai biaya sehingga dapat digunakan untuk mengurangi pajak.

Sementara biaya modal yang berasal dari ekuitas, berupa dividen, tidak diakui sebagai biaya, sehingga tidak dapat digunakan untuk mengurangi pajak. Karena perbedaan perlakuan ini, maka perusahaan yang memiliki utang lebih banyak akan menghemat pajak lebih banyak, sehingga nilainya lebih tinggi daripada perusahaan yang sedikit atau tidak berutang.

Pengaruh pajak terhadap harga saham juga dikaitkan dengan kebijakan dividen. Ada tiga pandangan terkait apakah kebijakan dividen akan meningkatkan nilai perusahaan. Pandangan pertama mengatakan bahwa kebijakan dividen berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan.

Perusahaan yang membayar dividen lebih besar akan memiliki nilai yang juga lebih besar. Pandangan ini didukung oleh fakta bahwa jika perusahaan mengumumkan kenaikan dividen, maka investor merespon sehingga harga saham meningkat.

Dividen dianggap sebagai sinyal yang terpercaya mengenai kinerja dan prospek perusahaan. Hanya perusahaan yang benar-benar berkinerja dan berprospek bagus yang dapat membayar dividen tinggi dalam jangka panjang.

Pandangan kedua menyatakan kebijakan dividen tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Yang berpengaruh terhadap nilai perusahaan adalah besarnya laba, bukan bagaimana cara laba tersebut dibagi.

Pandangan ketiga mengatakan bahwa besar dividen justru berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan. Perusahaan sebaiknya membayar dividen yang kecil dan lebih baik labanya sebagian besar ditahan untuk diinvestasikan kembali di perusahaan.

Salah satu alasan dari pandangan ketiga ini adalah faktor pajak. Tarif pajak atas penerimaan dividen pada umumnya lebih tinggi dari pada pajak atas capital gain sehingga investor yang menerima pembayaran dividen akan merugi dibandingkan jika laba tersebut ditahan.

Akibatnya prospek perusahaan menjadi lebih baik dan pada ujungnya investor akan memperoleh capital gain yang lebih tinggi. Seandainya pun tarif pajak atas dividen sama dibandingkan dengan pajak atas capital gain, investor tetap lebih senang pajak capital gain, karena pajak atas capital gain dapat ditunda.

Sementara pajak atas penerimaan dividen langsung dibayar pada saat dividen ditetapkan oleh perusahaan. Di sini terlihat bahwa pajak yang tinggi atas dividen tidak disukai oleh investor, sehingga perusahaan disarankan untuk hanya membayar dividen yang kecil agar investor senang dan nilai perusahaan menjadi lebih besar.

Jika dua teori yang terkait dengan pajak di atas dibandingkan, nampak ada pertentangan hasil. Jika dikaitkan dengan struktur modal, meningkatnya tarif pajak akan meningkatkan nilai perusahaan.

Semakin tinggi tarif pajak, maka semakin tinggi pula penghematan pajak atas penggunaan utang. Sehingga nilai perusahaan makin tinggi, asal bersedia menggunakan utang dalam jumlah besar dalam struktur modalnya.

Sementara, jika dikaitkan dengan kebijakan dividen, maka semakin tinggi tarif pajak, akan semakin rendah nilai perusahaan. Investor akan semakin tidak suka jika tarif pajak atas dividen semakin tinggi, sehingga nilai perusahaan juga semakin rendah.

Dengan demikian, jika dikaitkan dengan perubahan Undang-undang pajak tahun 2008 yang tarifnya menurun, maka dilihat dari teori struktur modal, maka perubahan tersebut akan berdampak negatif terhadap harga saham. Sementara jika mengacu ke teori kebijakan dividen, perubahan tersebut akan meningkatkan nilai perusahaan.

Dalam hal ini, kami cenderung berpendapat  bahwa penurunan tarif pajak akan berpengaruh positif terhadap harga saham. Selain mengacu ke teori kebijakan dividen, penurunan tarif pajak secara riil akan meningkatkan laba perusahaan, yang kemudian akan berpengaruh positif terhadap harga saham. Itulah yang kemudian menjadi hipotesa dalam studi yang kami lakukan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement