Kamis 01 Aug 2019 06:31 WIB

Perubahan demi Daya Saing untuk Tingkatkan Iklim Usaha

Berbagai hal dilakukan pemerintah untuk meningkatkan daya saing untuk iklim usaha

Amirudin Bagus
Foto: Dokumen pribadi
Amirudin Bagus

Pajak dan Kebijakan Deviden

Banyak faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen. Brigham dan Gapensky (2010) menyebutkan sejumlah faktor di bawah ini yang memengaruhi kebijakan dividen. Pertama, laba perusahaan. Karena dividen adalah bagian laba yang dibagikan kepada pemegang saham, maka besar dividen pasti tergantung pada besar laba. Semakin besar laba, maka dividen akan cenderung semakin besar juga. Penelitian Nurchasanah (2008) mendukung adanya pengaruh laba terhadap kebijakan dividen.

Kedua, kebutuhan perusahaan akan dana untuk tumbuh. Dalam tahap pertumbuhan, perusahaan  memerlukan lebih banyak dana dibandingkan pada tahap yang lain. Jika perusahaan membutuhkan dana lebih banyak, maka laba yang ditahan akan cenderung besar dan ini membuat dividen semakin rendah.

Ketiga, insider ownership atau kepemilikan orang dalam. Perusahaan yang porsi kepemilikan orang dalamnya relatif besar akan memiliki masalah agensi yang lebih kecil. Dividen sebetulnya juga merupakan salah satu mekanisme untuk mengurangi masalah agensi, yaitu dengan cara meningkatkan jumlahnya sehingga free cash flow yang dapat dimanfaatkan oleh menajer menjadi berkurang.

Jika sudah ada mekanisme insider ownership, jika kepemilikan orang dalam sudah cukup besar, maka perusahaan tidak perlu lagi membayar dividen yang tinggi untuk mengurangi masalah agensi. Namun demikian, jika porsi kepemilikan orang dalam ternyata terlalu besar maka akan muncul masalah agensi baru, yaitu antara pemegang saham mayoritas (insider) dengan pemegang saham minoritas. Tipe masalah agensi inilah yang justru terjadi di Indonesia.

Untuk mengurangi masalah agensi ini, diperlukan adanya pembayaran dividen yang tinggi. Namun, penelitian yang dilakukan oleh Suhartono (2004) menunjukkan bahwa insider ownership, yang diukur dengan tingkat kepemilikan saham oleh manajemen, memiliki hubungan terbalik dengan dividen payout ratio (DPR).

Ini bisa jadi disebabkan oleh digunakannya ukuran insider yang hanya diwakili oleh manajer. Jika ukuran insider, juga termasuk pemegang saham mayoritas, bisa jadi hasilnya berbeda.

Keempat adalah pajak. Pengaruh pajak terhadap kebijakan dividen dapat dilihat dari dua jenis pajak, yaitu pengaruh pajak badan dan pengaruh pajak dividen. Pajak badan yang menurun akan meningkatkan laba dan peningkatan laba akan membuat dividen juga meningkat. Pajak dividen pada umumnya lebih tinggi daripada pajak atas capital gain.

Menurut teori preferensi pajak, investor lebih menyukai pembagian dividen yang rendah dari pada yang tinggi, dengan alasan bahwa keuntungan modal (capital gain) dikenakan tarif pajak lebih rendah dari pada pendapatan dividen. Untuk itu investor yang kaya (yang memiliki sebagian besar saham) mungkin lebih suka perusahaan menahan dan menanamkan kembali laba ke dalam perusahaan. Pertumbuhan laba mungkin dianggap menghasilkan kenaikkan harga saham, dan keuntungan modal yang pajaknya rendah akan menggantikan dividen yang pajaknya tinggi.

Kemudian, pajak atas capital gain tidak dibayarkan sampai saham terjual, sehingga ada efek nilai waktu. Jika selembar saham dimiliki oleh seseorang sampai ia meninggal, sama sekali tidak ada pajak keuntungan modal yang terutang. Karena adanya keuntungan-keuntungan pajak ini, para investor cenderung lebih suka perusahaan yang menahan sebagian besar laba perusahaan. Jika demikian, para investor akan mau membayar lebih tinggi untuk perusahaan yang pembagian dividennya rendah dari-pada untuk perusahaan sejenis yang pembagian dividennya tinggi.

Undang-undang Nomor 36 tahun 2008, menyuratkan adanya penurunan tarif pajak atas dividen. Maka, dampaknya, beban pajak investor akan sedikit berkurang. Kerugian investor akan pembayaran pajak dividen akan berkurang, sehingga perusahaan dapat memutuskan untuk membayar dividen lebih banyak setelah disahkannya undang-undang tersebut. Artinya, perubahan undang-undang pajak penghasilan berpengaruh positif terhadap besar dividen yang dibayarkan perusahaan. Inilah hipotesis kedua kami.

Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian atau studi yang kami lakukan adalah perusahaan go publik di Indonesia. Sampelnya dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu sampel untuk menguji hipotesis pertama dan sampel untuk menguji hipotesis kedua. Hipotesis pertama diuji dengan menggunakan sampel perusahaan LQ 45 pada saat pengumuman (siaran pers) per-ubahan undang-undang perpajakan tentang pajak penghasilan dilakukan yaitu pada tanggal 21 Juli 2008. Hipotesis kedua diuji dengan menggunakan sampel perusahaan LQ-45 tahun 2007, 2008, dan 2009 yang pada tahun tersebut memperoleh laba, membayarkan dividen, dan menerbitkan laporan keuangan. Hasilnya diperoleh sampel 20 perusahaan pada tiap tahunnya.

Hasil penelitian menunjukkan hipotesis pertama kami terbukti, yang ditunjukkan respon positif para investor, saat diumumkan perubahan pajak tahun 2008.  Pada saat diumumkan tanggal 21 Juli 2008, harga saham meningkat secara signifikan. Informasi perubahan pajak ini ternyata tidak bocor sebelum diumumkan meskipun kemungkinan ada potensi untuk itu, karena proses pengesahannya seharusnya diliput oleh media massa.

Respon positif pengumuman perubahan pajak ternyata terus berlangsung sampai dengan beberapa hari setelah diumumkan namun kemudian disusul oleh penurunan harga saham yang juga berlangsung beberapa hari. Ini nampaknya merupakan gejala overreaction di pasar modal.

Kami mencatat adanya abnormal return positif signifikan pada tiga hari berturut-turut setelah pengumuman. Hal ini menunjukkan bahwa pasar modal bereaksi secara bertahap atas informasi perubahan pajak tahun 2008. Dalam ketentuan pasar modal yang efisien, mestinya hal tersebut tidak terjadi. Pasar yang efisien mestinya mencerminkan semua informasi yang relevan, seperti perubahan undang-undang pajak, ke dalam harga saham, dan ini terjadi dengan cepat dan serempak.

Salah satu ciri pasar modal efisien adalah tidak adanya peluang bagi investor untuk mengambil untung dengan mengandalkan informasi yang dapat diakses terlebih dahulu. Jika pengaruh pengumuman harga saham berlangsung bertahap, maka akan ada peluang bagi mereka yang mengetahui terlebih dahulu untuk memanfaatkan kesempatan mengambil untung. Dengan fakta ini dapat disimpulkan bahwa pasar modal Indonesia belum efisien.

Fenomena berikutnya adalah adanya abnormal return negatif berturut-turut pada hari ke-8 sampai ke-10. Fakta ini dapat diinterpretasikan bahwa ada aksi ambil untung. Ini sesuai dengan yang dicatat dalam behavioral finance tentang adanya overreaction dalam merespon sebuah peristiwa. Pengumuman perubahan telah direspon berlebihan sehingga harga meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan semestinya. Akhirnya setelah investor sadar mereka merevisi harga yang sudah terlalu tinggi tersebut.

Pengaruh Terhadap Dividen

Studi kami menunjukkan pajak berpengaruh positif signifikan terhadap dividen. Ini membuktikan hipotesis kedua. Dalam studi ini, dividen diukur dengan dividend payout ratio, sebuah ukuran “kemauan” perusahaan dalam membayar dividen. Ukuran dividen per lembar saham mungkin lebih menggambarkan “kemampuan” dari pada “kemauan”. Ini sangat cocok untuk menggambarkan kebijakan perusahaan untuk mau memberikan dividen yang lebih besar ketika ada perubahan undang-undang pajak dengan tarif yang lebih murah.

Kami juga mencatat variabel selain pajak ternyata tidak berpengaruh signifikan terhadap kebijakan dividen. Laba yang diukur dengan laba bersih tidak berpengaruh terhadap dividend payout ratio (DPR).

Laba bersih mungkin berpengaruh terhadap dividen per lembar saham, namun ternyata tidak berpengaruh terhadap DPR. Sebetulnya jika merujuk ke sejumlah prospektus penerbitan saham dan janji tentang besar DPR, banyak perusahaan yang menjanjikan akan memberikan DPR yang lebih tinggi pada saat laba bersih perusahaan berada pada range tertentu yang lebih tinggi. Namun janji ini ternyata tidak dipenuhi.

Insider ownership yang diukur dengan porsi kepemilikan direksi dan komisaris juga tidak berpengaruh terhadap DPR. Menurut teori agensi, semakin tinggi insider ownership maka semakin kecil masalah agensinya.

Dengan demikian, mekanisme dividen tidak perlu dilakukan ketika porsi insider ownership meningkat. Dalam penelitian ini, insider ownership tidak terbukti dapat digunakan sebagai substitusi mekanisme dividen. Barangkali, karena konflik agensi di Indonesia, sebenarnya bukan antara direksi/komisaris dengan pemegang saham, namun antara pemegang saham mayoritas dengan pemegang saham minoritas maka insider ownership tidak terbukti memengaruhi dividen.

Utang yang diukur dengan porsi utang terhadap asset total, juga tidak berpengaruh terhadap DPR. Porsi utang yang tinggi dapat menyebabkan berkurangnya atau terbatasnya persediaan kas perusahaan karena banyak kas digunakan untuk membayar bunga dan mengangsur pinjaman.

Dengan demikian, semakin tinggi porsi utang, semakin kecil DPR. Namun hal tersebut tidak ditemukan dalam studi ini. Kebijakan dividen tidak dipengaruhi oleh porsi utang. Bisa jadi perusahaan sudah punya cadangan untuk keperluan membayar bunga dan angsuran sehingga tidak memengaruhi besar kecilnya dana untuk membayar dividen.

Data juga menunjukkan penurunan tarif pajak, termasuk pajak pendapatan dividen, ternyata membuat perusahaan berani atau mau meningkatkan porsi labanya untuk dibagikan sebagai dividen. Namun, variabel lain yang dijadikan sebagai variabel kontrol yaitu laba bersih, insider ownership, dan porsi utang ternyata tidak berpengaruh terhadap kebijakan dividen.

Simpulan penting dari studi ini adalah keputusan pemerintah untuk menurunkan tarif pajak ternyata disambut baik oleh investor dan perusahaan. Tujuan kebijakan penurunan pajak bisa dikatakan berhasil karena kebijakan tersebut mendorong perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk terus meningkatkan kesejahteraan, kemanfaatan dan keunggulan kompetitifnya agar berdaya saing tinggi di kancah global, yang pada akhirnya akan mengembalikan manfaatnya kepada negara dan bangsa Indonesia.  Mengingat undang undang nomor 36 tahun 2008 sudah berlaku selama lebih dari 10 tahun maka perlu adanya penyegaran revisi perubahan undang undang perpajakan yang baru agar investasi semakin bergairah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement