REPUBLIKA.CO.ID, PURWAKARTA -- Air di Waduk Jatiluhur dilaporkan menyusut sangat cepat, yakni dua sentimeter per jam akibat musim kemarau. Hujan memang sudah tiga bulan tidak turun di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.
Direktur Operasi dan Pengembangan Perum Jasa Tirta (PJT) II Jatiluhur, Antonius Aris Sudjatmiko, berpendapat penyusutan dua sentimeter per jam sangat cepat untuk musim kemarau. "Air waduk terus menyusut karena air yang digelontorkan ke hilir cukup besar, sedangkan air yang masuk dari hulu sangat minim," ujar Antonius kepada Republika, Ahad (28/7).
Dampaknya, Antonius melanjutkan, hingga akhir pekan ini volume air berada pada level 99,1 meter di atas permukaan laut (mdpl). Untuk mengantisipasi kekeringan yang cukup ekstrem, PJT II Jatiluhur akan memodifikasi cuaca atau hujan buatan.
Antonius mengatakan, pihaknya sudah mengalokasikan anggaran khusus untuk kegiatan modifikasi cuaca sebesar Rp 4,5 miliar. Untuk melakukan hujan buatan, PJT II Jatiluhur bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) serta berkoordinasi dengan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
Hujan buatan, kata Antonius, akan dilakukan apabila hingga akhir September mendatang hujan tak juga turun di wilayah hulu Sungai Citarum. Menurut di, modifikasi cuaca menjadi salah satu cara antisipasi kekeringan di Kabupaten Purwakarta.
"Tapi, sebelum melakukan hujan buatan, kita juga akan melihat kondisi awannya dulu. Jika, sudah terlihat awan penghasil hujan maka modifikasi cuaca bisa dilakukan," ujar Antonius.
Terkait dengan suplai air ke wilayah hilir, Antonius menjamin sampai saat ini masih cukup aman. Bahkan, air yang digelontorkan ke hilir lebih dari ketentuan nomal. Pertimbangannya, selain untuk memenuhi kebutuhan irigasi (pertanian), hal tersebut juga untuk air baku PDAM dan industri.
Meski demikian, dia menambahkan, pihaknya meminta masyarakat untuk lebih bijak lagi dalam memakai air saat musim kemarau ini, khususnya petani. Ketika kemarau banyak petani yang memakai air melebihi ketentuan sehingga berdampak pada berkurangnya jatah air untuk wilayah lain.
Petani menyiapkan mesin pompa air di areal persawahan yang mengalami kekeringan di Penganjang, Indramayu, Jawa Barat, Senin (6/8).
Sementara itu, Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu mencatat kekeringan mengakibatkan 5.666 hektare sawah gagal panen atau puso. Minimnya debit air dari beberapa waduk dianggap sebagai penyebab puso.
"Dari data terakhir, yaitu per 24 Juli, ada 5.666 hektare persawahan yang gagal panen," kata Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu, Takmid, Sabtu lalu.
Takmid mengatakan, dari 120 ribu hektare sawah di Indramayu, 3.184 hektare mengalami kekeringan ringan, 2.436 hektare kekeringan sedang, dan 4.218 hektare kekeringan berat. "Sementara, yang terancam kekeringan itu seluas 6.935 hektare," kata Takmid.
Takmid mengungkapkan, secara umum semua lahan persawahan yang mengalami kekeringan berpotensi gagal panen. Terlebih, Takmid menambahkan, bila pada pekan ini persawahan tidak teraliri air.
Prakirawan cuaca BMKG Stasiun Jatiwangi, Majalengka, Ahmad Faiz, mengatakan, selama tiga bulan Kabupaten Indramayu berpotensi tanpa ada hujan. Menurut dia, hal ini perlu diwaspadai banyak pihak.
"Dari peta monitoring, Kabupaten Indramayu paling terdampak, di mana selama 94 hari tanpa hujan," kata Ahmad, Sabtu (27/7).
Dia menambahkan, saat ini Kabupaten Indramayu memasuki musim kekeringan ekstrem sebab lebih dari 60 hari di wilayah itu tidak ada hujan. "Ini sudah masuk kekeringan ekstrem karena lebih dari 60 hari tidak ada hujan," kata Ahmad.