Jumat 26 Jul 2019 16:33 WIB

Polisi Tembak Rekan, Polri Didesak Pantau Psikologis Anggota

Polri harus memperhatikan psikologis personelnya yang memegang senjata api.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Ratna Puspita
Anggota Komisi III DPR RI Masinton Pasaribu
Foto: Republika/Fauziah Mursid
Anggota Komisi III DPR RI Masinton Pasaribu

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR RI Masinton Pasaribu menyoroti penembakan Bripka Rahmat Efendy oleh Brigadir Rangga Tianto di Polsek Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Masinton menilai, ada faktor psikologis yang harusnya dipantau berkala oleh Polri.

"Harusnya pembinaan secara rutin maupun berkala dilakukan oleh atasan kepolisian terhadap personil anggota Polri yang memiliki senjata api mempedomani Perkap No.1/2009 dan Perkap No.8/2009," kata Masinton saat dihubungi, Jumat (26/7).

Baca Juga

Masinton menekankan, kasus ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Maka itu, kata dia, Polri harus benar-benar serius dalam memperhatikan psikologis para personelnya yang memegang senjata api.

"Seperti pembinaan mental dan psikologi anggota Polri, serta tes urine secara rutin," kata politikus PDI Perjuangan itu.

Standar penggunaan senjata api oleh anggota kepolisian RI sendiri sudah diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Selain itu, penyelenggaraan tugas polisi juga diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kepala Bagian Penerangan Umum Divhumas Polri Komisaris Besar Asep Adi Saputra menyatakan, setiap anggota polri yang hendak memegang senjata akan menjalani berbagai prosedur termasuk psikotes. Polri akan melakukan penilaian kelayakan seorang personel memegang senjata api.

"Termasuk juga catatan personelnya, apakah ada catatan yang mencurigakan terhadap perilaku kesehariannya atau juga ada pelanggaran yang dilakukan sebelumnya," ujar dia.

Setelah tes tersebut, secara reguler selama enam bulan juga dilakukan kontrol bagi pemegang senjata. "Senjatanya dikontrol keadaan psikisnya juga di kontrol," kata dia.

Dalam kasus penembakan di Cimanggis, Polri menduga sang pelaku penembakan, yakni Brigadir Rangga, gagal mengendalikan emosinya. Rangga menembakkan sembilan peluru, di mana tujuh di antaranya menembus tubuh Rahmat hingga tewas.

Asep pun menyatakan, setelah kejadian ini, psikologis Rangga akan diperiksa kembali, selain menjeratnya dengan pidana. "Termasuk, kami akan cek urine lagi nanti, apakah ada latar belakang penyalahgunaan keweangan ini ada persoalan-persoalan lain dibelakangnya," ujar dia.

Kejadian itu bermula saat Rahmat yang merupakan anggota Samsat Polda Metro Jaya menangkap seorang pelaku tawuran Fahrul Zachrie, pada Kamis malam. Kemudian datang orangtua remaja yang tawuran bersama Brigadir Rangga ke Polsek Cimanggis.

Mereka meminta agar Fahrul dipulangkan saja untuk dibina orang tuanya. Rahmat menolak sembari menjelaskan bahwa proses sedang berjalan.

Mendengar hal tersebut, Brigadir Rangga pun naik pitam. Ia kemudian mengambil senjata dan menembaki Rahmat. Berdasarkan informasi yang didapatkan, senjata api itu jenis HS 9.

Sesaat setelah kejadian, aparat kepolisian berhasil meringkus Brigadir Rangga dan membawanya ke Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan. Sementara itu jenazah Rahmat dibawa ke RS Polri Kramat Jati untuk diautopsi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement