Jumat 26 Jul 2019 16:20 WIB

Literasi Selamatkan Kekayaan Alam Hayati

Banyak tanaman yang hampir punah dan hanya bisa ditemukan di TBM Rumah Hijau Denassa.

Pelajar kelas komunitas Rumah Hijau Denassa menari menyambut peserta Residensi Literasi Sains, Gowa, Sulawesi Selatan, akhir juli 2018.
Foto: Ronggo Astungkoro
Pelajar kelas komunitas Rumah Hijau Denassa menari menyambut peserta Residensi Literasi Sains, Gowa, Sulawesi Selatan, akhir juli 2018.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ronggo Astungkoro

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah menetapkan program Gerakan Literasi Nasional (GLN) sejak 2016. Program tersebut dijalankan berdasarkan hasil forum di Swiss pada 2015, di mana negara-negara yang mengikutinya menyepakati adanya enam literasi dasar.

Literasi dasar tersebut terdiri dari literasi baca tulis, literasi numerik, literasi sains, lite rasi digital, literasi finansial, dan literasi kewargaan. Untuk meningkatkan semua itu, Kemendikbud juga membuat kegiatan atau program residensi.

Salah satu kegiatan residensi tersebut dilaksanakan di Rumah Hijau Denassa (RDH), Gowa, Sulawesi Selatan. RDH merupakan taman baca masyarakat (TBM) yang berawal dari upaya Darmawan Denessa menyelamatkan kekayaan hayati.

"Pada 2007 lalu didirikan sebagai usaha kami menyelamatkan kekayaan hayati seba gai tempat konservasi dan edukasi," ujar Denassa pada sambutan sebelum kegiatan selama empat hari itu dimulai, Selasa (31/7).

Selain koleksi buku, RHD juga memiliki koleksi tumbuhan berbagai jenis. Setidaknya ada sekitar 500 koleksi jenis tumbuhan lokal, endemik, hingga langka. Ada pula puluhan fauna yang hidup di RHD.

"Tidak ditangkar, kita hanya menyedia kan tempat yang nyaman bagi mereka untuk tinggal. Mereka memberikan dampak yang luar biasa pada kami dan lingkungan di sekitar kami," tutur Denassa.

Banyak tanaman yang sudah hampir punah dan hanya bisa ditemukan di RHD. TBM RHD ini diakui Denassa tidak hanya untuk warga lokal saja, tetapi juga orang-orang dari luar bisa masuk untuk membaca, belajar, dan bermain.

Kegiatan residensi ini merupakan kegiatan yang dilaksanakan oleh Direktorat Pembi naan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan, Direktirat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat, Kemente rian Pendidikan dan Kebudayaan. Residensi dilakukan sebagai ajang praktik baik dan sarana belajar sesama pengelola TBM di Tanah Air.

Selama kurang lebih empat hari, para pegiat literasi yang bergerak di bidang TBM berkumpul di RHD. Mereka diberikan berbagai materi mengenai penulisan dan keragaman hayati yang memang terdapat di lokasi tersebut. Mereka semua dibekali ilmu untuk menu liskan apa saja yang mereka dapat di RHD. Mulai dari bagaimana hidup berdam pingan dengan alam, mengenal tanaman-tanaman, hingga sejarah atau kisah di balik tanaman tersebut.

Para peserta yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Yogyakarta, Ban ten, Nusa Tenggara Timur, Tasik, Garut, Bo gor, Tangerang Selatan, Medan, Pangan dar an, dan Makassar diperlakukan layaknya anak murid yang memang biasa belajar di sana. "Kelas Komunitas!" ujar Denassa setiap meminta perhatian dari para peserta. "Haiii!" dibalas oleh para peserta, dan juga anak-anak yang memang sedang bermain di RHD sepulang mereka sekolah.

Denassa dan RHD-nya memang dijadi kan tempat belajar oleh anak-anak di sekitar rumah dan desanya. Tak sedikit dari mereka yang menjadi siswa Kelas Komunitas di sana, mulai dari anak-anak tingkat prasekolah hingga Sekolah Menengah Atas (SMA).

"Dari asalnya sedikit, sekarang sudah hampir 10 desa, ada 14 desa dan kelurahan di sini, itu sudah menjadi bagian dari Kelas Komunitas," jelas De nassa.

Dia menjelaskan, Kelas Komunitas ingin membuat anak didiknya merasa senang ketika belajar di RHD. Kelas di sana pun tidak spesifik di atur berdasarkan usia. Kelas Komunitas menggunakan kelas-kelas tematik dalam belajar.

"Ada kelas membaca, maka usia anak prasekolah sampai SMA bisa bergabung, kesempatan berinteraksi ada di sana dan wajib berinteraksi," ujar dia.

Salah seorang anak bernama Ahmad Abraham (10 tahun) mengaku senang menjadi bagian dari Kelas Komunitas itu. Menurut nya, kegiatan yang dilakukan seru karena bisa mengenal tanaman-tanaman dan mengetahui fungsi tanaman tersebut.

"Seru, bisa belajar sambil bermain. Suka menjelajah tumbuhan dan baca-baca puisi. (Suka dengan) tanaman pohon jati karena banyak yang bisa dibuat dari situ, lemari, kursi, kasur," jelas anak yang menggemari puisi karya Chairil Anwar itu.

Muhammad Khudri Syam, seorang mahasiswa yang ikut menjadi relawan RHD mengibaratkan RHD sebagal multi level marketing. Ia memberikan contoh, hari ini ada 10 anak yang datang, besok kembali lagi sudah dengan 10 orang tambahan.

"Anak-anak datang ke sini 10 orang. Be sok temannya bawa temen lagi minimal satu orang. Jadi menarik temen-temennya lagi dan memang meningkat (yang datang ke RHD)," tutur mahasiswa yang menjadi rela wan untuk mengisi masa libur semesternya tersebut.

Khudri mengaku tak bisa membahasakan perasaan yang ia rasakan ketika menjadi relawan di RHD. Selain mendapatkan peng alaman dari proses yang dijalani, ia juga mendapatkan pelajaran dari anak-anak yang ada di sana.

"Kemarin saya sempat ditegur, sama anak kelas tiga sampai enam SD, 'sandalnya jangan begitu kak harus dibalik begini. Jangan cabut rumput nanti didenda ambil sampah 300'," katanya.

Memang di sana anak-anak diajarkan untuk menata sandal mereka saat masuk ke dalam rumah. Selain itu, anak-anak juga di ajarkan bagaimana cara merawat lingkungan hidup di sekitarnya, termasuk mendaur ulang sampah yang bisa didaur ulang.

Hal-hal yang diajarkan oleh Denassa di RHD itu pun dianggap amat baik pengaruhnya bagi lingkungan sekitar. Itu dikatakan oleh Syarifudin Nurdin, salah satu pemilik rumah yang dijadikan tempat tinggal para tamu yang datang ke RHD. Ia pun berharap RHD terus berkembang agar warga sekitar juga turut bangga.

"Bagus pengaruhnya. Seperti anak-anak sekolah itu dia rajin ke sana. Kaya sampahsampah itu bagus jadi diolah kembali yang bisa didaur ulang. Dan Denassa itu tiap minggu sosialisasi di masjid dan rumahrumah warga," jelasnya.

Asriani juga berpikir hal yang sama de ngan Syarifudin. Ia menilai, anak-anak bisa menambah wawasannya lebih luas dengan mengikuti kegiatan di RHD. Selain belajar dan bermain, anak-anak uga kerap diajak jalan-jalan untuk mengetahui bagaimana ca ranya menjaga dan melestarikan lingkungan.

"Jadi kegiatannya bagus untuk anak-anak ini ke depannya. Saya sih mendukung kegiatannya. Anak saya dua masuk ke Kelas Komunitas, yang satu kelas lima itu sudah dua tahun, satunya lagi baru-baru ini," ujar dia.

Direktur Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan Abdul Kahar pada pembukaan kegiatan residensi menuturkan, apa yang diajarkan di RHD memang mungkin tidak berimplikasi langsung terhadap anak-anak. Mereka secara tidak langsung diajarkan untuk cinta terhadap lingkungan.

"Secara tidak sadar, mereka saling belajar jangan petik daun itu, patahkan daun itu, dan lainnya. Itu pelajaran yang luar biasa. tentu kalau pulang ke rumahya, akan berbuat sesuatu yang sama," terangnya.

Menurut dia, pelajaran tersebut merupakan sesuatu hal yang tak disengaja tapi akan mencerdaskan masyarakat di sekitar nya. Ia menambahkan, jika bicara literasi, memang tak ada ujung pangkalnya dan luas sekali ruang lingkupnya.

"Maka saya sering kali mengatakan, literasi itu suatu hal yang memang harus di pandang sebagai kebutuhan manusia. Jangan hanya diartikan baca-tulis saja, terlalu sempit kalau hanya itu," ungkap dia.

Kahar pun sejatinya ingin Denessa "digandakan". Orang-orang seperti Denessa ia sebut akan dapat membuat nyaman ling kungan tempat tinggal kita dengan kegiatan pelestarian lingkungan dan pendidikan terhadap anak-anaknya.

"Saya ingin Denassa digandakan, ada di mana-mana kalau bisa. Sehingga alangkah nyamannya kita kalau ada seperti ini, anak muda, masyarakat kita berbuat seperti ini. Ini luar biasa," jelasnya.

Dengan dilaksanakannya kegiatan residensi ini, ia berharap 20 pegiat TBM yang menjadi peserta dapat memetik dan memaknai aktifitas yang dilakukan di sana. Setelahnya, mereka diharapkan dapat membawa apa yang telah didapatkan itu ke daerah masing-masing.

"Daerah kita kalau tanpa pegiat yang punya rasa sosial yang tinggi, yang tangguh, saya rasa tak mungkin tercipta hal seperti ini. Inilah yang bisa melahirkan pegiat-pegiat tangguh," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement