REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada ungkapan Tiap utan ade macannye, tiap kampung ade maenannye (setiap hutan ada macannya, setiap kampung ada mainannya). Di Tanah Betawi, tradisi silat biasa disebut maenan. Hampir di setiap kampung dapat ditemukan, yang tentunya berbeda antara satu dan yang lain, cukup lekat masyarakat Betawi dengan silat.
Ada satu maenan Betawi dari kampung pinggir Sungai Ciliwung, Tanjung Barat, Jakarta Selatan yang belum banyak diketahui khalayak luas, "Sepak Goreng Asem".
Silat Sepak Goreng Asem adalah salah satu dari puluhan, bahkan ratusan aliran silat Betawi yang kini mulai membuka diri kepada umum. Selama ini, silat aliran itu hanya diturunkan melalui keturunan atau anak cucu.
Muhammad Martadinata yang dipercaya untuk melatih aliran silat Sepak Goreng Asem itu menceritakan bahwa salah satu tokoh aliran silat itu adalah Bapak Tua Dekle. Pada masa lalu, beliau adalah salah satu sosok yang dituakan oleh masyarakat Tanjung Barat, Jakarta Selatan dan Condet, Jakarta Timur.
Dalam sejarah singkatnya Bapak Tua Dekle merupakan generasi kedua pewaris silat Sepak Goreng Asem. Silat ini diturunkan kepada anak cucunya hingga lima generasi. Namun, peminat dari pihak keluarga makin lama makin berkurang.
Akhirnya, salah seorang ahli waris keempat, yakni Nci Tani--demikian biasa disapa--mengajarkan silat Sepak Goreng Asem kepada nonkeluarga, yaitu Muhammad Martadinata.
Nci Tani berpesan jika ada keturunannya yang ingin belajar silat aliran tersebut, Mang Marta (demikian ia biasa disapa) harus mengajarkannya.
Sesuai dugaan, atau generasi keenam meminta Marta mengajarkan Sepak Goreng Asem. Pada saat yang sama, Muslim yang merupakan generasi kelima, keponakan dari Nci Tani juga mempersilakan Marta untuk mengajarkan silat aliran Sepak Goreng Asem kepada masyarakat umum.
Sesuai dengan namanya, karakter teknik bela diri silat Sepak Goreng Asem lebih banyak mengandalkan sepakan kaki untuk melumpuhkan lawan. Di samping itu, aliran ini juga memadukan dengan pukulan tangan.
"Silat Sepak Goreng Asem banyak jurus yang menggunakan kaki untuk melumpuhkan lawan dengan cara menyepak. Biasanya, kalau abis disepak ''kan jatuh meringis, ekspresinya keliatan asem. Dari situ asal usul nama aliran silat Sepak Goreng Asem," paparnya.
Demi menjaga kelestarian budaya Betawi itu, pada tahun 2017 aliran beladiri khas Betawi, silat Sepak Goreng Asem itu berubah menjadi perguruan silat yang terbuka lantaran kekhawatiran tidak ada lagi penerus maenan Betawi itu.
Perjuangan Muhammad Martadinata tidak bisa dipandang sebelah mata. Tanpa kenal lelah, dirinya terus berjuang agar maenan dari pinggir Sungai Ciliwung itu yang sudah ada sejak 1800-an bisa terus lestari dan diminati generasi muda di Ibukota.
"Jadi, silat Sepak Goreng Asem ini asalnya dari Tanjung Barat, tepatnya di Lebak, pinggir kali Ciliwung, kalau sekarang tepatnya di belakang Rindam Jaya," ujar Marta.
Belajar Silat
Selepas lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) pada tahun 1999, Marta tertarik untuk mempelajari silat tradisional. Pada awalnya, dia cukup kesulitan untuk belajar silat Betawi karena keluarganya sendiri pun tidak memberikannya secara cuma-cuma mengenai pelajaran seni beladiri Betawi itu.
Namun, dengan keteguhan hati diiringi sifat yang mudah bergaul, mengantarkan Marta dapat berlatih silat tradisional Betawi, berguru langsung kepada pamannya.
Marta, mengawali belajar silat dengan aliran Silat Kosek hingga selesai. Tak puas pada satu aliran, dia mencari guru lain.
Ia berkeliling di sekitaran Jakarta Timur hingga Jakarta Selatan, tepatnya sepanjang Jalan T.B. Simatupang, dari Kampung Rambutan hingga Pasar Cipete. Selain mempelajari aliran gerak silat lain, tujuan berkeliling juga untuk menjaga dan menjalin silaturahmi dengan para guru silat lain yang memang sudah menjadi tradisi.
Pada usia yang relatif muda, menginjak umur 40 tahun, Marta setidaknya sudah memiliki tiga aliran silat Betawi yang kini dikuasainya, yakni silat Kosek, Bongkot Ujung, dan Sepak Goreng Asem.
Sepak Goreng Asem, kata dia, memiliki delapan jurus dan 12 gerak sambutan. Delapan jurus itu meliputi dasar langkah lima, pecahan lima empat turun, langkah tiga, empat segok, jurus alif, sampok (over cut), bandul, dan gecek.
Masing-masing gerak sambut juga mempunyai hal yang sifatnya teknis, yakni mengimbangi serangan atau mumbuka kuncian lawan yang dibarengi dengan kecepatan dan ketepatan. "Pada dasarnya, setiap serangan atau kuncian lawan pasti ada bukaannya," kata Marta.
Untuk permainan senjata, lanjut dia, aliran Sepak Goreng Asem tidak mengajarkan secara khusus, tetapi senjata mengikuti serta mengiringi gerak dan jurus.
Rendah Hati
Di tanah Betawi, perlawanan masyarakat terhadap penjajah Belanda dipelopori oleh para jago. Istilah itu merujuk pada seseorang yang ahli dalam bermain silat.
Seorang jago Betawi dilarang atau pantang melakukan perbuatan tercela. Sebagai jago, mereka juga harus lebih pandai menahan diri karena bisa silat bukan untuk pamer diri.
Sebagai suatu ilmu bela diri sekaligus seni, pencak silat memiliki empat aspek yang semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh, yakni aspek mental spiritual, kepercayaan dan ketekunan, olahraga, dan seni budaya.
Marta berharap silat Betawi tetap bisa eksis dan tidak kalah pamor dengan seni beladiri dari luar negeri, seperti karate dan taekwondo. "Saya terus berjuang untuk melestarikan warisan leluhur ini," tutur pria beranak dua itu.
Sebagai salah satu putra Betawi, dirinya dituntut untuk harus mampu merawat dan melestarikan seni silat Betawi. Dengan demikian sudah saatnya apa yang dimiliki harus diamalkan kepada orang lain. Bukan hanya untuk konsumsi individu, melainkan untuk dikenalkan kepada masyarakat luas.
"Saatnya mengamalkan ilmu untuk Betawi dan berjuang untuk melestarikan budaya Betawi melalui seni Silat Sepak Goreng Asem ini," ucapnya.
Anggota silat Sepak Goreng Asem Junaedi Syam berharap keberadaan wadah yang sudah berdiri ini mampu menjadi tempat untuk mengolah raga agar tubuh tetap bugar dan sehat baik tingkat anak-anak hingga orang tua.
"Ada sekitar 20 orang yang ikut bergabung di perguruan silat Sepak Goreng Asem dari semua kalangan. Kami melaksanakan latihan setiap Sabtu malam selepas isya," kata Edy biasa disapa.
Ia lantas berpantun, "Aki-aki bawa buntelan sawi, Bikin nasi goreng pake terasi, Jangan ngaku ente anak betawi, Kalo ngga ngerti sama tradisi."