Rabu 24 Jul 2019 08:08 WIB

Kenaikan Suhu Bayangi Indonesia, Apa Dampaknya?

Krisis air bersih disebut berdampak pada rakyat miskin.

Rep: Dessy Suciati Saputri, Rizky Suryarandika/ Red: Elba Damhuri
Petugas memeriksa informasi cuaca dan gelombang perairan di Posko Info Cuaca BMKG di Pelabuhan Merak, Banten, Jumat (31/5).
Foto: Republika/Prayogi
Petugas memeriksa informasi cuaca dan gelombang perairan di Posko Info Cuaca BMKG di Pelabuhan Merak, Banten, Jumat (31/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyampaikan, berdasarkan analisis BMKG, akan ada tren peningkatan suhu udara sebesar 0,5 derajat Celsius pada 2030 nanti. Perubahan iklim tersebut diperkirakan akan memperparah kekeringan di Indonesia pada masa mendatang.

Hal ini disampaikannya saat membuka rakornas BMKG di Istana Negara, Jakarta, Selasa (23/7). “Sebagai negeri kepulauan maritim yang berada di atas lempeng tektonik aktif, cuaca dan iklim ekstrem datang silih berganti dengan gempa dan tsunami, bahkan big data analytics BMKG menunjukkan tren peningkatan suhu udara sebesar 0,5 derajat Celsius dari kondisi saat ini di Indonesia pada tahun 2030 nanti,” kata Dwikorita.

Baca Juga

Tak hanya itu, ia juga menyebut Indonesia akan mengalami peningkatan kekeringan hingga 20 persen dari kondisi saat ini. Kasus kekeringan ini terjadi di sejumlah wilayah, di antaranya Sumatra Selatan, sebagian besar Pulau Jawa, Madura, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

Pada musim hujan, BMG memprediksi akan terjadi peningkatan jumlah hujan lebat hingga ekstrem mencapai 40 persen. “Pada musim hujan, jumlah hujan lebat hingga ekstrem juga cenderung meningkat hingga 40 persen dibandingkan saat ini,” ucapnya.

Kondisi tersebut memerlukan langkah antisipasi dari pemerintah agar dapat mengurangi dampak bencana pada masyarakat. Oleh karena itu, lanjut Dwikorita, diperlukan terobosan dan berbagai inovasi yang berbasis pada big data analytics dan kecerdasan buatan alias artificial intelligence.

Dalam rapat koordinasi nasional kemarin, Presiden Joko Widodo meminta BMKG bekerja sama dengan aparat keamanan menjaga alat-alat pendukung sistem peringatan dini bencana. Presiden mengatakan, peralatan berteknologi memiliki peran penting dalam kegiatan pemantauan kerawanan bencana.

"Tulis saja yang gede-gede. ‘Sangat penting. Untuk dijaga bareng-bareng,’" kata Presiden.

Hingga Selasa (23/4), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengidentifikasi sebanyak 55 kabupaten/kota telah berstatus siaga darurat kekeringan. Banten, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Sementara itu, wilayah kabupaten/kota yang terdampak kekeringan teridentifikasi berjumlah 75 kabupaten/kota, termasuk dua kabupaten di Bali.

Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza mengatakan, sejauh ini pihaknya menyiapkan solusi berupa pemanfaatan teknologi modifikasi cuaca (TMC) alias hujan buatan. TMC bakal diprioritaskan mencegah kekeringan pada area persawahan yang banyak tersebar di Jawa, Bali, NTT, dan NTB.

"Jika kekeringan melanda di banyak wilayah pertanian, khususnya tanaman padi, maka dikhawatirkan akan terjadi gagal panen. Untuk itu, kami di BPPT siap untuk melakukan operasi hujan buatan atau TMC," kata Hammam Riza di kantor BNPB, Senin (22/7).

Ia mengatakan, pemanfaatan TMC untuk mengatasi kekeringan merupakan tindak lanjut dari perintah Presiden Joko Widodo dan permintaan banyak kepala daerah. Teknologi ini dianggap mampu menjadi solusi mengatasi kekeringan yang sudah mulai melanda beberapa wilayah di Indonesia.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) mengungkapkan, krisis air bersih di beberapa daerah telah mencekik dan membebani masyarakat, terutama masyarakat dari kalangan tidak mampu.

"Fokus pemerintah selama lima tahun mendatang, kita fokus dulu pada daerah-daerah yang mengalami krisis air, yakni di wilayah Jawa dan Nusa Tenggara, ini yang paling krisis," ujar Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro di Jakarta, kemarin.

Bambang menjelaskan bahwa khusus di Jawa, bahkan ada penduduk yang dikategorikan miskin karena susah mendapatkan air hingga harus membeli air. “Berarti bisa dibayangkan, sudah kondisinya susah, harus mengeluarkan uang lagi hanya untuk membeli air bersih,” kata dia.

Terkait hal itu, ia mengatakan, pemerintah akan berfokus pada penyediaan air sebagai kebutuhan dasar melalui beberapa cara. Di antaranya dengan menambah sistem penyediaan air minum (SPAM) atau sumber airnya, serta menambah jaringan air untuk rumah tangga.

"Apalagi urbanisasinya sudah makin jelas, penduduk juga makin banyak, kebutuhan air meningkat, dan ketergantungan masyarakat terhadap air olahan juga semakin tinggi. Hal ini mengganggu daya beli masyarakat." kata Kepala Bappenas.

Secara statistik, menurut dia, sebetulnya Indonesia diuntungkan karena menjadi negara dengan curah hujan tertinggi di dunia. Demikian juga potensi cadangan airnya, termasuk air tanah.

Namun, masalahnya, kondisi tersebut tidak merata. Terdapat daerah yang surplus air karena sumber airnya banyak dan pemakainya sedikit. Untuk daerah seperti Jawa dan kota-kota besar, kondisinya malah terbalik karena sumber air tidak memadai untuk kebutuhan penduduk.

(antara ed: fitriyan zamzami)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement