Selasa 23 Jul 2019 14:17 WIB

'Kearifan Lokal Dapat Digunakan untuk Rajut Persatuan'

Kearifan lokal dapat dijadikan panduan dalam penyelesaian masalah perselisihan.

Kearifan lokal bisa menjadi daya dorong berinovasi
Foto: happytouring.com
Kearifan lokal bisa menjadi daya dorong berinovasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagai negara yang multikultural, Indonesia terkenal dengan kekayaan kebudayaan, bahasa, ras, dan agamanya. Dari dulu hingga saat ini masyarakat Indonesia hidup di tengah-tengah kearifan budaya lokal dalam menghadapi kebinekaan.  Karena di dalam konsep Bhinneka Tunggal Ika terdapat kearifan lokal berupa ajaran hidup gotong royong, toleransi, kerja keras, dan saling menghormati.

Bahkan  kearifan lokal ini dapat dijadikan panduan dalam penyelesaian masalah perselisihan, konflik, kekerasan termasuk radikalisme. Kearifan lokal tidak hanya menjadi strategi kultural dalam menyelesaiakan masalah (problem solver), tetapi juga bisa menjadi deteksi dini (early warning system) bagi keberadaan ancaman paham radikal di tengah masyarakat.

Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh,  Prof Yusny Saby mengatakan bahwa kearifan lokal yang dimiliki bangsa Indonesia di berbagai daerah sangat penting untuk mendeteksi ancaman radikalisme dan terorisme. Tak hanya itu, kearifan lokal juga dapat digunakan sebagai wadah untuk merajut kembali persatuan bangsa pasca Pemilihan Presiden (Pilpres) lalu.

“Kearifan lokal itu begini, ada suatu ungkapan bahasa Aceh ‘Leumo bloh paya, kuda cot iku. Gob meuseunoh kuasa, tanyoe nyang karu.  Artinya, sapi yang masuk ke lumpur, kuda yang terkejut. Orang lain yang berebut jabatan/kekuasaan, malah kita yang ribut. Ini urusan politik sudah selesai. Politik ini jangan menjadikan kita menjadi kebingungan atau kesusahan atau tergoncang karena urusan urusan orang lain. Politik urusan politik. Demikian juga di bisnis ya bisnis juga seperti itu,” ujar Yusny beberapa waktu lalu.

Lebih lanjut Yusny mengungkapkan, yang terpenting dari kearifan lokal itu, dengan ungkapan itu supaya masing-masing orang itu untuk  melaksanakan urusannya sendiri-sendiri. Janganlah kita melakukan sesuatu itu melebihi dari apa yang sebenarnya sudah kita miliki. Hal ini sebagai upaya untuk membuat orang lain merasa damai dan nyaman dalam melakukan aktivitasnya.

“Janganlah kita melebihi langkah-langkah kita. Telapak kaki kita itu seberapa besarnya, demikian juga dengan duduk, berapa lebar yang dibutuhkan. Sehingga dengan demikian itu akan ada kedamaian, keamanan dan tidak membuat orang-orang lain itu merasa terancam dengan cara kita dalam melakukan sesuatu,” kata pria yang juga pernah menjadi rektor UIN Ar-Raniry Banda Aceh ini.

Untuk itu dirinya meminta kepada semua pihak dalam melaksanakan kehidupan sehari-harinya diharapkan bisa sesuai dengan aturan. “Itulah yang dimaksud dengan adat istiadat dan sistem yang sudah berlaku sesuai apa yang sudah digariskan. Itulah yang harus dipahami masyarakat,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement