REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise, menyatakan sedang menyelesaikan revisi UU perkawinan. Salah satu yang menjadi fokus perhatiannya adalah revisi usia minimum perkawinan.
Pembahasan tersebut dilakukan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan judicial review pasal 7 ayat 1 undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. MK berpandangan bahwa aturan tersebut perlu diperbarui.
Menyikapi hal itu, Komisioner Komnas Perempuan (Komisi Nasional anti Kekerasan terhadap Perempuan), Nina Nurmila menyatakan, Komnas Perempuan sepakat bahwa usia minimum perkawinan adalah 21 tahun. Hal itu didasarkan atas beberapa alasan. Salah satunya, pernikahan anak berdampak negatif bagi perempuan.
"Komnas sudah memutuskan dalam sidang paripurna dua bulan yang lalu," kata Nina saat ditemui Republika.co.id, Senin (22/7).
Komisioner Komnas Perempuan itu menambahkan, dampak lain dari pernikahan dini adalah perceraian. Penyebabnya adalah emosi yang belum stabil. Lagi-lagi hal itu akan sangat merugikan perempuan.
Kemudian, Nina menjelaskan, usia 21 tahun dipilih atas pertimbangan bahwa pernikahan bukanlah hal sederhana. Ada beberapa hal yang harus disiapkan dengan baik. Pasalnya, pernikahan yang terlalu dini juga memicu masalah lain seperti kekerasan.
Nina menjelaskan, salah satu potensi kekerasan itu muncul ketika tidak adanya kesadaran untuk menikah. Tak jarang, seorang anak perempuan didorong untuk menikah oleh lingkungan sekitarnya. Sehingga perempuan yang bersangkutan menikah bukan atas kemauannya sendiri.
"Harusnya kedua belah pihak memiliki kerelaan. Masalahnya (setelah menikah) laki-laki merasa punya legitimasi untuk ini dan itu, aku sudah nikahi ini," ucapnya.
Padahal, ketika salah satu pihak justru menjalani pernikahan secara terpaksa. Hal itu sebenarnya termasuk sebagai kekerasan seksual. Nina dan rekan-rekannya di Komnas Perempuan telah memasukkan masalah tersebut ke dalam rancangan uu kekerasan seksual.
Di sisi lain, pertimbangan menaikkan usia perkawinan adalah pemenuhan hak pendidikan bagi anak. Pasalnya, saat seseorang melakukan perkawinan dini. Biasanya mereka belum menyelesaikan wajib belajar 12 tahun.
Dengan pendidikan yang terbatas, pasangan tersebut tidak memiliki keterampilan yang cukup untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Apalagi jika nanti terjadi perceraian. Ibu yang masih berusia dini harus menghidupi anaknya seorang diri.
"Tak bisa dibayangkan, kalau perempuan itu single parent. Pekerjaan yang tersedia berupah rendah, bahkan rentan eksploitasi. Itu sama seperti penghukuman seumur hiduplah," ujarnya.
Pada akhirnya, perempuan lulusan Master dari Murdoch University, Australia itu berpandangan, pernikahan anak usia dini tidak bisa disamakan dengan pernikahan orang dewasa. "Pernikahan itu perlu persiapan fisik. Ekonomi. Psikologi. Itu semua kan harus disiapkan melalui sekolah," tuturnya.
Ia berharap, masyarakat dan keluarga bisa memberikan pemahaman reproduksi yang baik. Ia mencatat, masih banyak perempuan di usia remaja yang tidak mengerti konsekuensi atas hubungan seksual yang dilakukan.
"Orang tua memberikan pendidikan reproduksi untuk menjaga diri bahwa ada pagar yg harus dijaga," pungkasnya.
Di sisi lain, berdasarkan jurnal kesehatan reproduksi yang terdaftar di Badan Litbang Kesehatan. Di dalamnya disebutkan, pernikahan dini memiliki beberapa implikasi negatif bagi perempuan. Khususnya ketika mereka mengalami kehamilan dan merawat anak.
Kehamilan di usia dini akan meningkatkan potensi kematian ibu hingga 2-4 kali lipat. Selain itu, kehamilan di usia dini juga meningkatkan potensi kematian bayi sebesar 30 persen. Hal itu dibandingkan dengan kehamilan yang perempuan usia 20-30 tahun.
Dalam jurnal tersebut juga disebutkan, pada usia yang belum matang, perempuan belum mampu mengendalikan emosinya. sehingga ia mudah panik, dan tegang. Hal itulah yang dapat memicu keguguran, kelahiran prematur, kelahiran dengan berat badan lebih rendah, persalinan macet, dan ASI yang tidak lancar.