REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berlangsungnya musim kemarau dikhawatirkan dapat memperluas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di sejumlah wilayah. Terlebih, ketersediaan air di sejumlah embung dan sumur-sumur bor dekat wilayah disinyalir belum sepenuhnya dapat diandalkan dalam penanggulangan karhutla akibat kemarau.
Di Sumatera dan Kalimantan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengakui karhutla semakin meluas. Meluasnya karhutla itu belum sepenuhnya dapat dibarengi dengan ketersediaan pasokan air di sejumlah embung yang dibangun pemerintah. Padahal, air diklaim menjadi instrumen utama dalam penanggulangan karhutla di Indonesia.
“(Ketersediaan air) tercukupi, ya mudah-mudahan,” kata Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono kepada Republika.co.id, Senin (22/7).
Bambang menyebut, satu-satunya sumber air yang menyuplai embung dan sumur bor adalah kontribusi hujan. Air hujan yang selama ini ada, kata dia, ditambung di dalam embung dan sumur-sumur bor yang ada sehingga ketika karhutla terjadi, air-air tersebut dapat dimanfaatkan. Restorasi hidrologis yang dilakukan di kawasan hutan dan kawasan nonhutan pun, menrutnya juga sangat mengandalkan suplai air dari sumber-sumber terdekat oleh lokasi.
Selama ini, pemerintah berupaya membangun embung dan sumur bor dengan pendekatan mendekat ke wilayah yang rawan terjadi karhutla. Selain itu, pembangunan embung dan sumur bor juga diupayakan dapat mengakses wilayah-wilayah yang sulit terjangkau. Untuk itu, pihaknya menegaskan, KLHK bersama semua jajaran terus memadukan sistem pengendalian karhutla secara terpadu.
“Kita pantau terus hotspot (titik panas) ini agar tidak jadi titik api, ya kami dari pusat sampai daerah itu bersatu padu, termasuk dengan TNI, Polri, dan masyarakat sekitar,” kata Bambang.
Dia menjelaskan, permasalahan karhutla harus dilalui dengan pendekatan pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan. Untuk pemulihan misalnya, pemerintah memanfaatkan sistem koordinasi dari pusat dan daerah untuk memastikan ekosistem gambut tetap basah dan dapat dipantau dan dievaluasi secara ketat. Adapun pendekatan yang dilakukan, kata dia, yakni melalui pengelolaan air.
Diketahui, Sumatera dan Kaliman menjadi salah satu wilayah rentan karhutla. Berdasarkan catatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau, luas area hutan dan lahan yang terbakar di Provinsi Riau sejak awal Januari 2019 hingga pekan kedua Juli 2019 mencapai 3.650,09 hektare. Adapun wilayah terparah yang terdampak karhutla berada di Kabupaten Bengkalis dengan luas hutan dan lahan terbakar mencapai 1.450,08 hektare.
Daerah lainnya di Riau yang terdampak cukup parah karhutla yakni Rokan Hilir dengan luas lahan dan hutan yang terbakar mencapai 746,25 hektare dan Siak dengan luas 438,85 hektare. Ditemui terpisah di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, akhir pekan lalu, Gubernur Kalimantan Tengah Sugianto Sabran mengatakan, pengendalian karhutla di Kalimantan Tengah terus diupayakan dengan membentuk tim satuan tugas (Satgas) Karhutla.
“Di kemarau panjang seperti sekarang, kita terus koordinasikan dengan satgas di lapangan,” kata Sugianto.
Sugianto membeberkan, salah satu bentuk upaya penanganan dan pengendalian karhutla adalah mengatasi lahan gambut dengan membuat sekat-sekat kanal. Hal itu dilakukan guna mengupayakan lahan gambut yang ada dapat dijamin tetap basah dan tidak terbakar.
Di sisi lain, dia menambahakan, tidak keseluruhan lahan di Kalimantan Tengah merupakan lahan gambut yang mudah tersulut api. Akan tetapi, masih ada lahan-lahan produktif bermineral yang bisa dimanfaatkan agar meminimalisasi kebakaran. Menurut dia, mayoritas lahan yang terbakar merupakan lahan yang tidak dimanfaatkan sehingga tidak ada yang menjaga.
“Biasanya yang terbakar itu yang tidak dijadikan lahan produktif, sehingga nggak ada yang jagain dan akhirnya terbakar,” kata dia.