Senin 22 Jul 2019 07:19 WIB

Perpanjangan Usia Pensiun Peneliti Disambut Positif

SDM peneliti Indonesia jumlahnya masih terbatas.

Rep: Rr Laeny Sulistyawati, Inas Widyanuratikah/ Red: Elba Damhuri
Penelitian (ilustrasi)
Foto: ANTARA FOTO/Moch Asim
Penelitian (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Amanat Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas Iptek) yang memperpanjang usia pensiun peneliti hingga 70 tahun disambut positif banyak pihak. Penambahan usia pensiun peneliti ini bisa bermanfaat untuk sang peneliti dan produktivitas penelitian secara umum.

“Jadi, ini akan menambah kapasitas produksi riset nasional,” kata Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) Kadarsah Suryadi saat dihubungi Republika, Ahad (21/7).

Menurut dia, diperpanjangnya usia pensiun peneliti berarti angka harapan hidup manusia semakin tinggi. Di sisi lain, usia peneliti di atas 70 tahun rata-rata masih sangat produktif. Tak jarang, kata dia, guru besar di kampus masih aktif melakukan penelitian di usianya yang lewat kepala tujuh.

Kadarsyah mengatakan, banyak peneliti senior yang telah memiliki jaringan luas, baik tingkat industri, masyarakat, nasional, hingga internasional. Jika usia pensiun diperpanjang, kata dia, jaringan ini setidaknya akan tetap terjaga. Selain itu, menurut dia, para peneliti senior bisa membimbing para doktor muda, hingga calon-calon doktor lebih panjang.

“Artinya kapasitas untuk membimbing para doktor bertambah. Jadi, produktivitas doktor dan peneliti muda akan meningkat seiring dengan adanya ketersediaan para peneliti senior,” kata pria yang juga Ketua Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI) tersebut.

Kendati demikian, Kadarsyah berharap, perguruan tinggi untuk meningkatkan kapasitas sarana prasarana. Pemerintah, menurut dia, sudah banyak memberikan kontribusi untuk membiayai riset, baik di perguruan tinggi maupun lembaga penelitian dan pengembangan.

Kadarsyah menilai, tidak hanya universitas atau pemerintah yang terlibat dalam penaingkatan sarana prasarana, tetapi juga pihak lain, seperti dunia industri atau swasta. Ini berkaca dari pengalamannya melihat negara-negara dengan riset yang maju, seperti Taiwan, Korea Selatan (Korsel) hingga Jepang.

Menurut dia, negara-negara itu melakukan inovasi penelitian dan pengembangannya dengan 3 persen biaya riset ditanggung perguruan tinggi atau lembaga riset, seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Kemudian, 30 persen dibayar oleh pemerintah, dan sisanya dibayar oleh industri.

Dia mendorong industri bisa melakukan hal yang sama seperti di negara-negara tersebut. Apalagi, kata dia, pemerintah telah membuat aturan memberikan insentif tax deduction untuk perguruan tinggi yang membantu riset di perguruan tinggi (PT).

Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes) Fathur Rokhman juga menilai, banyak sisi posistif jika usia pensiun peneliti menjadi 70 tahun. “Itu (tambahan usia pensiun peneliti) menjadi daya tarik untuk dosen dan periset agar menggunakan akalnya untuk produktif meneliti,” ujar dia.

Rokhman mengatakan, para peneliti Indonesia saat berumur 70-an memang biasa menggunakan pikiran dan keilmuannya melakukan kajian. Tak hanya itu, dia menyebut, riset yang dilakukan peneliti di atas 58 tahun hingga pensiun nanti bisa menghidupkan sel-sel di otaknya dan mereka terhindar mengalami pikun.

“Para peneliti yang terus menggunakan daya pikirnya hingga usia 70 tahunan ini yang membuat peneliti masih sehat,” ujar dia. Tak hanya itu, dia menyebut penerima nobel juga banyak yang berusia di atas 70 tahun.

Kendati demikian, dia mengaku, ada kendala SDM peneliti Indonesia jumlahnya masih terbatas. “Ini yang membuat sedikit SDM peneliti yang bisa berkualitas internasional. Jadi, tantangannya peningkatan kualitas SDM peneliti Indonesia yang bisa bereputasi internasional,” kata dia.

Menurut dia, pendanaan laboratorium berbasis riset di Indonesia juga masih kurang. Pemerintah, kata Rokhman, telah mengalokasikan dana riset 50 persen dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP), tetapi masih kurang. “Karena laboratorium riset membutuhkan biaya tinggi seperti bahan dan alat-alatnya,” kata dia.

Dalam UU Sisnas Iptek, usia pensiun peneliti madya menjadi 65 tahun dari sebelumnya 58 tahun. Sedangkan, untuk peneliti utama menjadi 70 tahun dari sebelumnya 60 tahun.

Beberapa waktu lalu, beberapa peneliti madya sempat dipensiunkan mendadak karena adanya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS. Koordinator korban PHK peneliti madya, Sigit Asmara Santa, mengatakan, meskipun UU Sisnas Iptek sudah disahkan, tetap belum ada jalan keluar bagi para peneliti yang sudah terlanjur dipensiunkan tersebut.

“Peneliti madya atau perekayasa ahli madya itu pensiunnya kembali ke 65 tahun, tapi yang sudah dipensiun tetap saja tidak ada jalan keluar padahal korbannya sudah banyak,” kata Sigit.

Sejak diberlakukan PP tersebut, Sigit mengatakan, sekitar 200 peneliti dipensiunkan secara mendadak. Selanjutnya, pada tahun 2018 bertambah sekitar 500 peneliti yang dipensiunkan. Menurut sigit, para peneliti yang dipensiunkan mendadak juga diminta membayar sejumlah uang kepada negara hingga ratusan juta.

“Setelah pensiun itu diminta mengembalikan uang kepada negara sebagai tagihan utang, ada yang sampai Rp 144,6 juta. Itu dianggap utang kepada negara,” kata dia. Sigit menjelaskan, utang yang perlu dibayar tersebut adalah uang gaji yang diterima para peneliti setelah dinyatakan pensiun namun sebelumnya tetap bekerja.

Kepala LIPI Laksana Tri Handoko berpendapat, batas usia pensiun peneliti selama ini memang terlalu muda. Sebab, peneliti rata-rata baru mulai matang pada usia 35-an tahun. Menurut dia, sangat disayangkan apabila peneliti harus dipensiunkan pada usia 58 atau 60 tahun.

“Padahal, investasi dan upaya untuk membentuk seorang peneliti  perlu investasi yang besar dan lama. Jadi, negara dirugikan selama ini sebenarnya,” kata dia.

(ed: mas alami huda)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement