Jumat 19 Jul 2019 04:00 WIB

Benang Merah Hukum Agama dan Negara Menyikapi Poligami

Ramainya Qanun Poligami bisa jadi dihembuskan mereka yang selama ini menolak syariat.

Nashih Nasrullah
Nashih Nasrullah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nashih Nashrullah*

Ada yang perlu diluruskan dulu saat mendiskusikan tentang polemik polemik Rancangan Qanun tentang Poligami yang kini tengah dibahas Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Yaitu penggunaan  diksi ‘melegalkan'. Kata ‘melegalkan’ memunculkan persepsi publik bahwa seakan selama ini poligami dilarang baik secara syariat ataupun secara hukum negara. Padahal faktanya tidak begitu. Poligami sudah legal baik secara syariat atau hukum negara. Dari ketentuan syariat, sudah jelas, bahwa poligami adalah sah dan boleh, tentu dengan beberapa catatan.

Demikian pula dari aspek regulasi perundang-undangan, poligami diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Undang-Undang No 1 Tahun 1974 mengaturnya dalam Pasal 3 ayat 2 yang berbunyi: “Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.” Ketentuan dan syarat-syarat poligami tersebut, masih dalam undang-undang yang sama, diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5.

Satu hal lagi yang perlu diketahui bahwa jika membandingkan Polemik Raqun Poligami dengan UU No 1 Tahun 1974, terkhusus soal bab tentang poligami, terungkap rumusan peraturan seseorang beristri lebih dari satu sama persis dan bahkan tak ada bedanya. Maknanya, sebenarnya tidak ada yang baru dalam Raqun Poligami yang ditawarkan DPRA itu. Lantas mengapa ada gonjang-ganjing di masyarakat terkait Raqun tersebut?

Saya menduga menghangatnya kembali polemik poligami dalam konteks Raqun Poligami Aceh tersebut, bagian dari menjajaki respons publik terhadap Raqun yang pada dasarnya adalah usulan Dinas Kesehatan Aceh menyusul maraknya praktik poligami di bawah tangan atau sirri yang berakhir pada kasus-kasus ketidakadilan bagi perempuan.

Kedua, isu tersebut sengaja dihembuskan oleh para pihak yang selama ini kritis (menolak, red) segala yang berbau syariat Islam di provinsi paling barat tersebut. Kedua kemungkinan bisa jadi ada apalagi jika melihat fakta bahwa sama sekali tidak ada yang baru dalam Raqun Poligami itu.

 

Prinsip lahirnya UU No 1 Tahun 1974 adalah internalisasi hukum Islam di bidang perkawinan dalam regulasi negara. Syarat-syarat ketat dalam poligami dalam peraturan itu justru mempunyai semangat dengan maqashid syariah, berupa menjaga agama, mempertahankan keturunan (nasl), dan mempertahankan harta. Sekalipun beberapa ketentuan urusan poligami dalam undang-undang tersebut, justru tidak berkaitan langsung dengan teks-teks agama, seperti meminta izin dari istri pertama dan selanjutnya. Ketatnya syarat-syarat poligami inilah yang mendorong sebagian kalangan lebih memilih melakukan pernikahan poligami mereka secara sirri.

Praktik pernikahan sirri memang legal secara syariah (selama syarat dan rukunnya terpenuhi), namun kerap memunculkan ragam pelanggaran, terutama dari aspek hak-hak yang semestinya didapatkan perempuan yang ‘sah’ menurut catatan negara. Oleh sebagian oknum, nikah sirri dipahami hanya sebatas ‘pelarian’ untuk memenuhi hasrat menikah lagi, lalu mengabaikan hak-hak sang istri. Maraknya kasus inilah yang menjadi perhatian sekaligus keprihatinan sejumlah kalangan, yang dalam konteks Indonesia, ditandai dengan tercetusnya UU No 1 Tahun 1974 tersebut.

Inilah mengapa sejumlah ulama menegaskan bahwa hukum dasar kewajiban menikah adalah monogami, bukan poligami sebagaimana disampaikan Syekh al-Azhar Mesir, Prof Ahmad at-Thayyib. Kata fawahidatan dalam surah an-Nisaa’ ayat ke-3 tersebut justru mengisyaratkan hukum dasar menikah hanya satu istri seumur hidup, bukan poligami (akibat pernyataan itu Syekh Ahmad at-Thayyib, pernah difitnah mengharamkan poligami usai mengeluarkan pendapat tersebut akibat konteks pernyataan yang telah direduksi).       

Namun demikian, pembacaan (atau mungkin kerisauan) yang sama dari para ulama klasik atas praktik poligami sejatinya juga bisa disimpulkan dari kategorisasi hukum poligami, sebagaimana dijelaskan Imam al-Qarafi dalam kitab ad-Dzakhirah. Di level ekstrem, poligami bisa wajib dan bahkan sekaligus dapat menjadi haram. Poligami dipandang wajib bagi seseorang yang mampu secara materi lahir dan batin, lalu khawatir berbuat zina.

Sementara kebalikannya, poligami bisa haram jika unsur-unsur keadilan seperti keadilan sandang, pangan, papan, atau dalam kata lain bila poligami tersebut justru mendatangkan mudharat besar, hukumnya malah haram.

Keberadaan UU No 1 Tahun 1974 ataupun Raqun Poligami Aceh bisa dibaca sebagai  bentuk kehadiran dan upaya negara dalam melindungi hak-hak perempuan. Bahwa ada praktik poligami sirri yang tanpa masalah memang iya, tetapi terdapat pelanggaran oleh oknum dalam praktik poligami sirri juga sangat banyak. Inilah alasan cendekiawan Muslim asal Tunisia, Thahir bin ‘Asyur dalam kitab tafsirnya  at-Tahrir wa at-Tanwir, mengatakan alasan mengapa monogami lebih dianjurkan bagi mereka yang takut tidak mampu berbuat adil, karena pada poligami itu berpotensi menggiring pelakunya berbuat tidak adil karena kecenderungan seseorang itu tentu ada ego dan kelalaian.

Pembatasan monogami dalam kata fawahidatan merupakan sad ad-zari’ah bagi mereka yang tidak bisa berbuat adil secara nafkah, meski Thahir bin ‘Asyur memilih berpendapat dalam kitab tafsirnya tersebut bahwa hukum dasar menikah adalah poligami bagi yang memenuhi syarat. Dengan demikian pada dasarnya, piranti hukum Islam telah mengkomodasi persoalan-persoalan sosial poligami melalui kategorisasi hukum mulai dari haram, sunat, hingga wajib. Dia tidak pernah dilarang dalam syariat, sesuai hukum dasarnya, dan tidak pernah pula dilarang dalam hukum negara. Benang merah yang menghubungkan keduanya adalah penolakan terhadap praktik-praktik poligami yang berujung pada ketidakadilan dan kezaliman terhadap perempuan.   

 

*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement