Ahad 14 Jul 2019 12:49 WIB

Prabowo dan Jokowi Sudah Bertemu, Selanjutnya Apa?

Setelah bertemu Jokowi, Prabowo tetap berpeluang di luar pemerintahan.

Teguh Firmansyah.
Foto: Teguh Firmansyah
Teguh Firmansyah.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Teguh Firmansyah*

Pertemuan Jokowi dan Prabowo yang selama ini ditunggu-tunggu terjadi. Pertemuan tidak digelar di Istana Kepresidenan atau Hambalang, melainkan di Stasiun Moda Raya Terpadu (MRT) Lebak Bulus, Jakarta Selatan.

Keduanya berjabat tangan bahkan sempat cipika-cipiki yang menunjukkan tanda pertemanan. Tidak berhenti di sana, diskusi bahkan dilanjutkan dengan naik MRT bersama sekitar 10 menit hingga Senayan. Keduanya tampak berbincang-bincang santai.

Pertemuan itu berlangsung 15 hari setelah putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak gugatan Prabowo. Saat itu, capres 02 tersebut menghormati putusan MK, namun dia tak pernah mengucapkan selamat khusus buat Jokowi. Prabowo berulangkali juga sempat bilang tak menolelir kecurangan dalam pemilu.

Karena itu pertemuan kali ini boleh dibilang sebagai babak baru hubungan antara keduanya. Apakah pertemuan ini akan dilanjutkan ke tahap selanjutnya? Atau cukup sebatas pertemuan dan Prabowo serta Gerindra tetap berada di garis oposisi?

Patut dicatat, Prabowo bukan orang baru dalam dunia perpolitikan. Dia juga bukan pertama kali ikut terlibat dalam pertarungan pilpres. Prabowo pernah maju bersama Megawati dalam Pilpres tahun 2009, tapi kalah dengan pasangan SBY-Boediono. Mega-Prabowo sempat menggugat hingga ke Mahkamah Konstitusi, namun gagal.

Prabowo melanjutkan pertaruhannya dalam persaingan Pilpres pada 2014. Ia maju bersama Ketum PAN Hatta Rajasa. Lagi-lagi ia harus kalah dalam persaingan. Pendiri Gerindra itu dikalahkan Joko Widodo (Jokowi) yang berpasangan dengan politikus senior Golkar Jusuf Kalla. Prabowo menggugat ke MK, tapi juga tak berhasil.

Pada 2019, Prabowo mencoba peruntungannya kembali. Kali ini, ini berpasangan dengan pengusaha muda Sandiaga Uno. Ia pun harus berhadapan dengan Jokowi yang menggandeng tokoh Nahdlatul Ulama Kiai Maruf Amin. Prabowo pun kembali gagal. 

Namun, meski berulangkali kalah, Prabowo tampak tak  membawa kekalahannya secara personal. Ia bergerak dinamis pascapilres. Prabowo menemui SBY, walau berulangkali terjadi drama.

Pada 29 Januari 2015, Prabowo bertemu dengan Jokowi yang baru menyelesaikan 100 hari pertamanya sebagai presiden. Pada 2016, Prabowo pun sempat berkuda bareng dengan Jokowi di Hambalang membahas berbagai isu keamanan negara.

Tapi, pertemuan yang berlangsung berulang itu tak membuat Prabowo bergerak merapat ke Jokowi dalam kabinet. Justru para politikus Gerindra di DPR yang digawangi Fadli Zon berulangkali melontarkan kritik pedas ke arah pemerintah.  Tak tanggung-tanggung, Fadli Zon sempat menyebut pemerintahan Jokowi sebagai rezim gagal. 

Karena itu pilihan Gerindra akan tetap berada di garis oposisi masih sangat dimungkinkan. Apalagi, Gerindra akan menanggung risiko ditinggal pemilihnya jika bergabung dengan pemerintah.

Sinyal itu sudah cukup jelas. Saat Prabowo bertemu dengan Jokowi, para pendukung capres 02 banyak yang menolak. Ada yang mengkritik di medsos dengan tagar #kecewa terhadap Gerindra dan Prabowo, atau membuat pesan berantai lewat media pertemanan Whatsapp.

Kelompok PA 212 yang selama ini menjadi pendukung 02 juga tak merestui pertemuan ini. Amien Rais yang menjadi rekan Prabowo pun  mengaku tak diberitahu soal pertemuan tersebut. Ia ingin bertanya langsung soal hal tersebut ke Prabowo. 

Sehari sebelumnya, emak-emak juga menggelar demo di depan Kediaman Prabowo menolak rekonsiliasi. Penolakan-penolakan tersebut tentu akan menjadi pertimbangan bagi Prabowo dan Gerindra dalam menentukan sikap politiknya ke depan.

Namun bukan berarti peluang Gerindra merapat ikut dalam kabinet Jokowi sirna. Peluang itu bisa saja terjadi dengan beragam perhitungan politik. Apalagi pemilu selanjutnya pada 2024 masih cukup lama.

Nah.., yang menjadi pekerjaan rumah Gerindra ke depan adalah bagaimana menemukan sosok pemimpin yang akan dijual untuk menggantikan Prabowo ke depan.  Apakah ia lahir dari kepala daerah-kepala daerah yang kini menjabat. Atau dari menteri yang membelot jadi oposisi, atau dari politikus di parlemen.  Pastinya pemimpin itu harus menggaet kelompok nasionalis dan kalangan Muslim moderat dan 'tradisional’.

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement