Rabu 17 Jul 2019 08:27 WIB

Pergaulan Bebas Dominasi Penyebab Maraknya Perkawinan Anak

Kasus perkawinan anak akibat pergaulan bebas paling banyak terjadi di Sulawesi Barat.

Buku nikah (Ilustrasi)
Foto: Republika
Buku nikah (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Dwi Listyawardani mengatakan, angka perkawinan anak di Indonesia masih tinggi. Angkanya sekitar 11,2 persen dari total seluruh perkawinan di Indonesia.

Dwi menjelaskan, tingginya angka perkawinan anak tersebut terjadi akibat beberapa faktor. Kasus yang paling banyak adalah karena pergaulan bebas.

Baca Juga

"Ini masih menjadi keprihatinan kita semuanya, tentang pernikahan usia dini penyebabnya ada banyak, faktor budaya, tradisi, agama, faktor kemiskinan, termasuk yang paling banyak itu faktor pergaulan bebas," kata Dwi Listyawardani yang akrab disapa Dani tersebut di Malang, Selasa.

Dani mengungkapkan, banyaknya kasus perkawinan usia dini akibat pergaulan bebas bisa terlihat dari meningkatnya permintaan dispensasi nikah di pengadilan agama. Ia menjelaskan, dispensasi diberikan bagi perempuan di bawah 16 tahun dan laki-laki di bawah 19 tahun.

"Permintaan dispensasi nikah cenderung meningkat dan pengadilan agama terpaksa memberikan dispensasi karena kasihan melihat yang wanita sudah hamil," kata Dani.

Dispensasi pernikahan dimungkinkan berdasarkan Pasal 7 ayat 2 UU Perkawinan. Peraturan itu memungkinkan calon suami yang belum mencapai usia 19 tahun dan calon istri yang belum mencapai 16 tahun mendapat dispensasi dari pengadilan agama untuk bisa melangsungkan pernikahan.

Dani menyebutkan pernikahan usia dini paling tinggi di Sulawesi Barat yang mencapai 19 persen kemudian diikuti oleh Kalimantan Selatan. Sedangkan kasus pernikahan usia dini cenderung lebih rendah di daerah perkotaan.

"Yang rendah memang di perkotaan ya, di DKI itu empat persen," kata Dani.

Sementara itu, menurut Dani, perkawinan anak di desa cenderung dialami oleh perempuan, terlebih anak yang putus sekolah kemudian dinikahkan oleh orang tuanya. Perkawinan anak yang disebabkan oleh faktor kemiskinan lebih mendominasi terjadi di desa.

Dani mengemukakan biasanya pernikahan anak perempuan di desa dilakukan untuk meringankan beban orang tua. Namun, hal tersebut bukanlah solusi karena banyak rumah tangga dari perkawinan anak tersebut yang kandas di tengah jalan.

Dani juga mengingatkan bahwa perkawinan anak juga meningkatkan risiko penyakit kanker leher rahim pada perempuan. Alat kelamin perempuan yang usianya di bawah 19 tahun masih sangat rentan terinfeksi berbagai virus sehingga berpotensi mengalami kanker serviks pada 15 tahun hingga 20 tahun kemudian.

"Dari hasil penelitian menunjukkan mereka yang yang kena kanker serviks setelah ditanya kapan kamu pertama kali melakukan hubungan seksual itu di usianya rata-rata di bawah 19 tahun ini," kata Dani.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement