Rabu 17 Jul 2019 07:47 WIB

Soal Muslim Uighur, Pengaruh Cina di Dunia Menguat?

Ada alasan mengapa negara-negara Muslim seperti Arab Saudi dan Turki diam soal Uighur

Dua orang Muslim Uighur di Xinjiang melintas di depan parade militer Cina.
Foto: AP
Dua orang Muslim Uighur di Xinjiang melintas di depan parade militer Cina.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengajar Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Shofwan Al Banna Choiruzzad menilai, ada beberapa penjelasan mengenai alasan perwakilan 37 negara menyurati Dewan HAM PBB guna mendukung tindakan RRC di Xinjiang. Selain persoalan ekonomi, catatan pelanggaran HAM sejumlah negara juga dinilai jadi pendorong.

"Ada beragam kompleksitas yang membuat negara-negara lain, termasuk negara-negara Muslim yang sedang dekat dengan RRC itu tidak bersikap, misalnya Turki atau Arab Saudi atau negara-negara Timur Tengah," kata Shofwan kepada Republika, Selasa (16/7).

Baca Juga

Menurut dia, di antara negara-negara pendukung memang ada yang sejauh ini dituding sebagai pelaku pelanggaran HAM. ''Jadi, banyak alasan sikap yang tidak mendukung pernyataan 22 negara itu," kata dia.

Shofwan mengatakan, surat 37 negara yang merespons surat negara-negara Barat itu juga menunjukkan pengaruh RRC yang semakin besar dalam geopolitik global. Termasuk di wilayah-wilayah yang secara tradisional didominasi Barat seperti Afrika yang menjadi halaman belakang Eropa dan di Timur Tengah yang selama ini didominasi oleh Amerika Serikat.

Ia mencontohkan, pada 2008 investasi RRC di Timur Tengah hanya satu persen dari total investasi Negeri Tirai Bambu di luar negeri. Kini RRC memiliki konsorsium-konsorsium besar di Timur Tengah. Dilansir dari the Economist, proyek terbesar Timur Tengah saat ini menggunakan renminbi, mata uang RRC.

Konsorsium RRC, misalnya, ingin berinvestasi sekitar 10 miliar dolar AS untuk membangun zona industri seluas 1.000 hektare di Oman. Selain zona industri dan pelabuhan di Oman, pabrik-pabrik di Aljazair, dan gedung pencakar langit di Mesir, tahun lalu RRC memberi pinjaman dan hibah ke negara-negara Arab sebesar 23 miliar dolar AS. Mereka juga menandatangani kontrak investasi dan kesepakatan konstruksi sebesar 28 miliar dolar AS di kawasan tersebut.

The Economist melaporkan, dunia Arab sangat membutuhkan investasi. Contohnya di Mesir yang terkenal dengan industri katun. Perusahaan tekstil dalam negeri mereka, menurut the Economist, hancur. Mesin-mesinnya tidak diperbarui selama beberapa dekade.

Sampai akhirnya, RRC masuk dan pada bulan Januari lalu menjanjikan investasi sebesar 121 juta dolar AS untuk membangun pabrik katun modern di luar Kairo. Pemerintah Mesir berharap proyek itu dapat menambah 100 ribu lapangan pekerjaan.

Shofwan mengatakan, RRC memiliki konsorsium bank RRC dan bank Arab yang menghimpun dana sebesar 3 miliar dolar AS. Dana tersebut digunakan untuk berbagai proyek di Timur Tengah.

"Mereka selama ini mengandalkan minyak, tapi minyak itu tidak selamanya bisa diandalkan, harus dihitung habisnya kapan dan dalam rangka membangun ekonomi setelah minyak mereka harus siap-siap dari sekarang, salah satu yang bisa menunjang menjadi mitra ataupun penyedia dana serta berbagai sumber daya lainnya ya RRC," kata Shofwan.

Ia menambahkan, sekarang ini di Timur Tengah, RRC banyak berinvestasi di bidang infrastruktur, minyak dan gas, serta energi terbarukan. "Dengan konteks ini meributkan isu HAM RRC pertama manfaatnya tidak banyak, kedua justru mereka yang rugi," ujar Shofwan.

Menurut dia, surat dari 37 negara menunjukkan, mereka lebih memprioritaskan kepentingan nasional atau bisnis masing-masing dibandingkan kemanusiaan atau solidaritas dunia Islam.

Selain itu, hal tersebut menunjukkan RRC mulai mendominasi di kawasan yang sebelumnya dikuasai Barat. Shofwan mencontohkan, pangkalan militer RRC di Djibouti yang dibuka pada Agustus 2017. Djibouti berada di Tanduk Afrika yang menjadi jalur penting untuk mengawasi lalu lintas minyak.

"Pangkalan militer pertama RRC di luar negeri itu ada Timur Tengah dan Afrika, Djibouti itu, ini menunjukkan kehadiran RRC di dunia Islam, di Timur Tengah atau Arab yang semakin signifikan," kata Shofwan.

Duta besar 37 negara di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan surat tandingan atas kecaman terhadap perlakuan Republika Rakyat Cina (RRC) kepada Muslim Uighur yang sebelumnya dilayangkan 22 perwakilan negara lainnya. Kali ini surat dukungan terhadap kebijakan RRC di Xinjiang tersebut justru datang dari negara-negara mayoritas Muslim, seperti Arab Saudi dan negara-negara Teluk.

Selain Saudi dan Rusia, surat yang berhasil dilihat Reuters itu turut ditandatangani oleh duta besar dari Korea Utara, Venezuela, Kuba, Belarus, Myanmar, Filipina, Suriah, Pakistan, Oman, Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan sejumlah negara Afrika.

Dalam surat itu dikatakan bahwa keamanan telah kembali ke Xinjiang. HAM orang-orang dari semua kelompok etnis di sana pun telah dilindungi. Surat tersebut turut menjelaskan bahwa tidak ada serangan teror yang terjadi di Xinjiang selama tiga tahun terakhir dan masyarakat di sana menikmati kebahagiaan dan keamanan yang lebih kuat.

Sejumlah media dan LSM di Amerika dan Eropa sebelumnya melaporkan, sedikinya 1,5 juta etnis Uighur dimasukkan dalam pusat-pusat reedukasi. Di lokasi itu, mereka didoktrin, tak boleh menjalankan ajaran agama, dipaksa makan makanan haram, serta mengalami penyiksaan.

Media-media barat juga melaporkan terjadi penghancuran masjid-masjid bersejarah, pemisahan orang tua dari anak-anak mereka yang dimasukkan dalam institusi khusus, pengawasan dengan teknologi canggih, serta kerja paksa terhadap penghuni kamp reedukasi. RRC selalu berdalih bahwa kamp-kamp tersebut adalah pusat vokasi untuk memberikan keahlian bagi etnis Uighur sekaligus pusat deradikalisasi.

photo
Save muslim Uighur.

Republika sempat diundang dalam kunjungan yang disinggung diplomat 37 negara dalam surat teranyar pada Maret lalu. Kunjungan tersebut ditata sedemikian rupa, mulai dari kunjungan ke museum terorisme, pasar utama di Xinjiang yang dipenuhi tarian dan nyanyian, kemudian ke kamp-kamp reedukasi. Kunjungan dikawal ketat petugas RRC dan wawancara tak bebas dilakukan.

Kendati demikian, Republika berhasil mendapatkan kesaksian soal penghuni kamp vokasi yang “dididik” hanya karena menjalankan ajaran agama yang mereka yakini. Para peserta didik juga dilarang melaksanakan shalat di kamp vokasi dan hanya bisa beribadah saat dipulangkan sepekan sekali. Sejumlah mushala di Xinjiang juga tampak ditutupi dan dipagari garis polisi hingga tak bisa digunakan beribadah dengan leluasa.

n lintar satria, ed: fitriyan zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement