Selasa 16 Jul 2019 20:33 WIB

Ekonom Sebut Aneh Angka Ketimpangan Penduduk di Yogyakarta

Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan provinsi dengan IPM tertinggi di Indonesia

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Ketimpangan sosial  (Ilustrasi)
Ketimpangan sosial (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Universtias Gadjah Mada (UGM) Akhmad Akbar Susamto  menilai, penurunan gini ratio atau ketimpangan sebesar 0,007 poin dari September 2018 ke Maret 2009 cenderung tipis jika dibandingkan capaian tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, tingkat ketimpangan yang tertinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta cenderung menunjukkan keanehan tersendiri.

Seperti diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa tingkat ketimpangan di Yogyakarta mencapai 0,423 poin atau menempati posisi tertinggi. Akbar menjelaskan, keanehan tersebut lantaran Provinsi DIY merupakan salah satu provinsi dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang tertinggi di Indonesia.

Baca Juga

Mengutip data terakhir dari Badan Pusat Statistik (BPS), Yogyakarta menempati posisi kedua tertinggi IPM dengan skor 79,53 poin setelah DKI Jakarta pada tahun 2018 lalu. "Ini mencerminkan bahwa DIY merupakan salah satu provinsi yang paling sejahtera di Indonesia," kata Akhmad kepada Republika.co.id, Selasa (16/7).

 

Kendati tingginya ketimpangan di Yogyakarta menjadi keanehan tersendiri, ia mengaku bisa memakluminya. Sebab, kata Akhmad, predikat Yogyakarta sebagai daerah yang memiliki ketimpangan tertinggi bukan yang pertama. Pada tahun 2017 silam, Akhmad mencatat kota tersebut juga menjadi daerah yang tingkat ketimpangannya paling tinggi.

Ia menjelaskan, indeks gini yang menunjukkan distribusi pengeluaran di antara berbabagai kelompok masyarkaat yang berbeda. Indeks gini yang tinggi mencerminkan bahwa distribusi tersebut tidak merata.

Menurut dia, di Yogyakarta saat ini banyak orang-orang yang termasuk ke dalam golongan kaya dengan tingkat pendidikan yang tinggi. Mereka, kata Akhmad, sebagian merupakan penduduk asli Yogyakarta yang bekerja atau memiliki penghasilan di luar daerah.

"Mereka memiliki tinggal di Yogyakarta macam-macam sebabnya. Salah satunya adalah kenyamanan Yogyakarta atau alasan nostalgia. Di satu sisi, mereka memilih Yogyakarta dengan alasan pendidikan anak-anak mereka," ujarnya.

Namun, disaat bersamaan, terdapat pula penduduk Yogyakarta yang masuk golongan miskin. Sebagian dari merupakan penduduk asli yang benar-benar hidup Yogyakarta, baik di perdesaan maupun perkotaan. Akhmad mengatakan, itulah yang akhirnya membuat potret ketimpangan di Yogyakarta amat tinggi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement