Ahad 14 Jul 2019 15:12 WIB

Catatan ICJR atas Putusan PK MA Dalam Kasus Baiq Nuril

MA gagal dalam mencermati fakta-fakta persidangan yang dikemukakan

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Ratna Puspita
Terpidana kasus pelanggaran UU ITE, Baiq Nuril.
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Terpidana kasus pelanggaran UU ITE, Baiq Nuril.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mencatat sejumlah poin yang dinilai salah saat Mahkamah Agung (MA) menolak peninjauan kembali (PK) Baiq Nuril. ICJR menilai, dalam pertimbangannya, MA gagal dalam mencermati fakta-fakta persidangan yang dikemukakan 

"MA gagal mencermati fakta di pengadilan tingkat pertama dan gagal dalam memahami konstruksi Pasal 27 (1) UU ITE," kata Direktur Eksekutif ICJR, Anggara dalam keterangan tertulisnya, Ahad (14/7). 

Baca Juga

Anggara menjelaskan, UU ITE berbunyi 'setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan'. 

Dalam konstruksi pasal tersebut, lanjut Anggara, yang harus menjadi perhatian adalah tindakan yang dilarang berupa distribusi, transmisi, dan membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. "Bukan melakukan perekaman," kata Anggara. 

Untuk itu, menurut Anggara, fokus dalam pemeriksaan perkara ini oleh MA di tingkat PK seharusnya adalah apakah benar Nuril melakukan distribusi, transmisi, dan membuat dapat diaksesnya suatu informasi elektronik yang bermuatan kesusilaan. Hal ini kemudian coba dijawab oleh MA dalam poin ke empat pertimbangannya. 

"Namun, justru di sini lah MA melakukan kesalahan dalam menganalisis alat bukti yang dihadirkan di persidangan tingkat pertama," ujae Anggara. 

Dalam pertimbangannya, MA mengatakan, Nuril melakukan transmisi/transfer rekaman dari telepon genggam ke laptop milik HIM. Padahal, secara jelas di dalam pengadilan tingkat pertama, para saksi yang terdiri dari Saksi Husnul Aini dan Saksi Lalu Agung Rofiq (keduanya berada di tempat kejadian pada saat transmisi dilakukan) menyatakan bahwa yang melakukan transimisi/transfer adalah HIM, bukan Ibu Nuril. 

Bahkan, di dalam putusan kasasi, MA telah menyakan bahwa HIM lah yang telah meneruskan, mengirimkan, dan/atau mentransfer isi rekaman pembicaraan kepada Saksi Muhajidin, Saksi Muhalim, dan demikian seterusnya ke telepon genggam milik Lalu Wirebakti, Indah Deporwati, Sukrian, Haji Isin, dan Hanafi. 

"Jelas, hal ini merupakan suatu kekeliruan yang dilakukan oleh MA dalam menimbang fakta di tingkat PK, karena MA telah salah dalam mengidentifikasi siapa sesungguhnya pelaku tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh Penuntut Umum," ucap Anggara. 

MA dalam poin pertimbangannya yang kelima mengatakan, alasan PK yang mengatakan bahwa bukti elektronik yang diajukan di persidangan tidak sah dan tidak mengikat secara hukum karena telah berubah isinya tidaklah sah. Anggara menekankan, sejak awal persidangan bukti tersebut telah diperlihatkan dan diperdengarkan kepada Nuril dan tidak ada keberatan. 

Menurut Anggara, di dalam pemeriksaan tingkat kasasi, Majelis Hakim sama sekali tidak menyinggung masalah alat bukti elektronik ini. Padahal, masalah pembuktian di dalam perkara yang diadili berdasarkan ketentuan di dalam UU ITE adalah hal yang paling penting untuk kemudian diperhatikan.

"Pertimbangan MA yang menyatakan bahwa karena tidak ada keberatan dari Ibu Nuril sejak awal diperdengarkannya rekaman pembicaraan di pengadilan, tidaklah relevan sama sekali di dalam perkara ini dan telah melenceng dari permasalahan hukum yang sebenarnya harus dijawab di dalam pemeriksaan PK perkara ini," kata Anggara menegaskan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement