REPUBLIKA.CO.ID, ]JAKARTA -- Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Anwar Abbas menyambut gembira pertemuan presiden terpilih Joko Widodo dan calon presiden Prabowo Subianto di stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Sabtu (13/7). Menurut dia, pertemuan kedua tokoh tersebut telah membawa kesejukan di hati masyarakat Indonesia.
"Kita menyambut gembira pertemuan tersebut. Dengan bertemuanya kedua tokoh tersebut ada rasa adem dan rasa sejuk di hati kita," ujar Anwar saat dihubungi Republika.co.id, Sabtu (13/7).
Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini mengatakan, bangsa Indonesia kini tengah mempunyai masalah yang banyak dan berat. Menurut Anwar, tentu berbagai masalah Indonesia itu tidak mungkin bisa diselesaikan oleh Jokowi saja, tapi juga harus dipikul bersama dengan Prabowo.
"Hanya dengan persatuan dan kesatuan kita sebagai satu bangsa masalah yang berat akan menjadi ringan dan segala rintangan akan bisa kita lompati," ucapnya.
Karena itu, Anwar juga berharap kepada kubu Jokowi sebagai pemenag Pilpres 2019 untuk tidak bersorak dan melupakan yang kalah. Menurut dia, pihak yang kalah harus diperlakukan secara terhormat, sehingga bisa membangun bangsa ini bersama-sama. "Perlakukanlah yang kalah secara terhormat karena mereka juga mendapat dukungan cukup besar dari rakyat," kata Anwar.
Bagi Muhammadiyah, tambah Anwar, pertemuan Jokowi dan Prabowo tersebut memiliki makna yang sangat besar bangsa ini. Karena, dengan bertemunya kedua tokoh itu akan memberikan rasa aman dan damai.
"Dengan adanya saling pengertian dan saling memahami di antara mereka, negeri ini akan aman, tentram dan damai, sehingga para investor tertarik untuk berinvestasi. Dan pengangguran juga akan bisa dikurangi, serta kehidupan ekonomi akan bisa menggeliat kembali," jelas Anwar.
Seperti diketahui, Presiden terpilih Joko Widodo dan calon presiden Prabowo Subianto telah melakukan pertemuan di stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Sabtu (13/7) pagi. Kedua lantas bersalaman dan berpelukan di lokasi tersebut.
Momen ini sekaligus menandai mendinginnya suasana perpolitikan nasional yang sempat memanas sepanjang pesta demokrasi yang lalu. Keduanya pun sepakat menyampaikan bahwa tidak ada lagi istilah cebong dan kampret, dua diksi yang selama ini seolah membelah pandangan politik masyarakat Indonesia.