Selasa 09 Jul 2019 14:59 WIB

Baiq Nuril akan ke DPR Cari Dukungan untuk Amnesti Besok

Keputusan presiden memberikan amnesti harus mendapatkan pertimbangan DPR RI.

Rep: Ali Mansur/ Red: Ratna Puspita
Terpidana kasus pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Baiq Nuril
Foto: Republika/Prayogi
Terpidana kasus pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Baiq Nuril

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terpidana kasus penyebaran konten asusila, Baiq Nuril, berencana menyambangi DPR RI pada Rabu (10/7) besok. Kedatangan Baiq Nuril untuk mencari dukungan dari DPR RI terkait rencana harapan mendapatkan amnesti atau pengampunan hukuman kepada Presiden Joko Widodo. 

Pascaputusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak Peninjauan Kembali (PK) kasus tersebut, pengampunan hukum oleh presiden menjadi satu-satunya cara agar Baiq Nuril bisa bebas dari hukuman. Untuk menyetujui pengajuan amnesti, Presiden Joko Widodo juga harus meminta pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.

Baca Juga

"Kami sedang upayakan dan mencoba mencari dukungan dari DPR RI, oleh karena besok kita ke sana (DPR) RI," ujar Joko saat dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa (9/7).

Terkait amnesti dari presiden, Joko menjelaskan, ia dan kliennya tidak mengajukan permohonan amnesti kepada kepala negara. Kendati demikian, ia dan kliennya telah menyampaikan pertimbangan-pertimbangan agar Baiq Nuril mendapatkan amnesti atau pengampunan hukum kepada Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).

"Kalau amnesti itu tidak ada permohonan, kalau grasi kan memang menggunakan permohonan. kalau ini tidak, hanya semacam pertimbangan saja. Tidak ada syarat apapun. Karena itu semua preoregratif presiden," tegas Joko.

Hanya, kata Joko, keputusan presiden memberikan atau tidak amnesti kepada Baiq Nuril membutuhkan waktu yang cukup lama. Meski hak prerogratif, ia mengatakan, Jokowi harus menunggu atau meminta pertimbangan dari DPR RI dalam memberikan amnesti.

Kasus yang dialami Baiq Nuril berawal saat dirinya menerima telepon dari kepala sekolah tempat dia bekerja. Dalam perbincangan di telepon itu, kepsek menceritakan tentang hubungan badannya dengan seorang perempuan yang juga dikenal Baiq Nuril.

Karena merasa dilecehkan, Baiq Nuril merekam perbincangan tersebut. Kemudian pada 2015, rekaman tersebut beredar luas dan kepala sekolah melaporkan Baiq Nuril ke polisi.

MA lewat putusan kasasi pada 26 September 2018 menghukum Baiq Nuril 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan. Vonis hukuman itu diberikan sesuai dengan pelanggaran Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Ayat 1 UU Nomor 11/2008 tentang ITE. 

Setelah itu, Baiq Nuril mengajukan PK meski pada akhirnya ditolak. Dalam putusannya, majelis hakim menganulir putusan pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Mataram yang menyatakan Baiq Nuril bebas dari seluruh tuntutan dan tidak bersalah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement