REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Hampir seabad sudah Puskesmas Mlati II, Kabupaten Sleman, DIY, berdiri. Walau banyak raganya yang lapuk dimakan zaman, kaki-kaki kokoh dan tangan-tangan lincah tetap setia melayani kesehatan masyarakat.
Debu pasir kerap menggelitik di sepatu atau sendal siapa saja yang melintas memasuki pagar puskesmas. Maklum, sebagian besar halaman puskesmas memang masih dikelilingi pasir.
Namun, beragam pohon besar yang ada di sekitaran puskesmas memang setia menjaga suasana puskesmas tetap sejuk. Bahkan, setia melindungi suasana sejuk dari panas terik matahari.
Cat putih tembok dan cat abu-abu pintu dan jendela menambah sejuk pandangan mata. Bahkan, warna itu senantiasa terjaga sejak kali pertama bangunan ini diresmikan sekitar 1930an.
Kepala Puskesmas Mlati II, dr Veronika Evita Setianingrum mengatakan, puskesmas berdiri di atas tanah seluas 8.337 meter persegi. Dulunya, merupakan rumah sakit pembantu RS Bethesda.
"Dulu RS Bethesda itu namanya RS Petronella, jadi ini rumah sakit pembantu dibangun karena ada pabrik gula di Cebongan, kalau dalam bahasa Belanda Los Danon," kata Veronika, kepada Republika.co.id.
Papan nama bertuliskan Los Danon hingga kini masih kokoh berdiri di depan unit rawat inap Puskesmas Mlati II. Papan nama terbuat dari beton dan berwarna abu-abu semen tanpa ada cat.
Dulu, Puskesmas Mlati II merupakan rumah sakit untuk karyawan-karyawan pabrik gula tersebut. Kala itu, tenaga-tenaga medis di sana sebagian besar diisi dokter-dokter dari Belanda.
"Waktu itu ada cucu cicit pendiri gedung ini (keluarga Enger) mau cari makam kakeknya itu karena tidak mengerti makam kakenya di mana, tapi kita juga tidak mengerti makam kakeknya di mana," ujar Veronika.
Veronika sendiri mengepalai Puskesmas Mlati II baru pada 2017. Ia memperkirakan, perubahan dari rumah sakit ke puskesmas dilakukan ketika Indonesia merdeka, dan sempat dimanfaatkan pula sebagai sekolah.
Kemudian, pernah pula menjadi rumah sakit khusus paru-paru. Yang jelas, konsep puskesmas baru diterapkan sekitar 1979-1980 dengan nama Balai Pengobatan atau pusat-pusat kesehatan yang terintegrasi.
Balai Pengobatan diisi mulai bagian ibu dan anak, sampai kesehatan paru-paru masyarakat. Kala itu, perubahan dilakukan langsung melalui Instruksi Presiden dan diterapkan ke pusat-pusat kesehatan tiap kecamatan.
"Hingga kini, mungkin sekitar 75 persen lebih bangunan masih merupakan bangunan awal, bangunan baru itu hanya untuk rawat inap dan UGD saja," kata dia.
Sayangnya, walau menyimpan begitu banyak sejarah, perawatan sampai hari ini masih mengandalkan pendapatan puskesmas. Ia mengakui, kondisi itu memang cukup sulit mengingat puskesmas harus jalankan program-program kesehatan.
Memang, lanjut Veronika, beberapa kali sempat ada bantuan dari Dinas Kebudayaan Kabupaten Sleman. Tapi, itupun terbilang masih minim karena hanya sekitar Rp 10 juta yang mungkin cuma untuk pengecatan-pengecatan.
Menurut Veronika, mereka sebenarnya sudah mengusulkan agar perawatan Puskesmas Mlati II bisa mendapat Dana Keistimewaan lewat Dinas Kebudayaan sejak 2017. Belakangan, kabarnya tinggal menanti SK Bupati Sleman.
"Prosesnya memang lama, pengajuan dari 2017, lalu Tim Ahli Cagar Budaya menilai ke lapangan, rapat baru diajukan untuk menjadi Cagar Budaya," ujar Veronika.
Ia menegaskan, penetapan sebagai Cagar Budaya nantinya tidak akan mengubah operasional puskesmas. Termasuk, tidak akan mengubah bentuk-bentuk bangunan dan warna dasar seperti tembok, jendela dan pintu.
Sejauh ini, pergantian cuma dilakukan terhadap genteng-genteng yang melorot dan kayu-kayu yang lapuk. Bahkan, masih ada perpustakaan dengan 2.000 lebih koleksi buku yang terbuka bagi siapa saja yang ingin membaca dan meminjam.