REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hingga batas waktu yang ditentukan, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) bentukan Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian gagal mengungkap kasus penyerangan terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan. Tim tersebut dinilai gagal meski diberi waktu enam bulan pascaresmi didirikan.
"Tim tersebut tidak dapat mengungkap satu pun aktor yang bertanggung jawab atas cacatnya mata kiri penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut,” ujar perwakilan Koalisi Masyarakat Antikorupsi, Yati Andriyani lewat keterangan tertulisnya, Senin (8/7).
Koalisi yang terdiri atas ICW, KontraS, LBH Jakarta, YLBHI, Amnesty Internasional, dan Change.org, sejak awal mengaku pesimistis dengan pembentukan TGPF ini. Hal itu terlihat dari komposisi tim yang terdiri atas 65 anggota, yang 53 di antaranya berasal dari unsur Polri.
Padahal saat kasus ini mencuat, diduga ada keterlibatan polisi atas penyiraman air keras yang menimpa Novel. Sehingga, patut diduga akan rawan konflik kepentingan dalam serangan tersebut.
"Oleh karenanya yang digaungkan oleh masyarakat pada saat itu yakni pembentukan Tim Independen yang bertanggung jawab kepada Presiden Joko Widodo. Sayangnya, Presiden seolah-olah melepaskan tanggung jawabnya sebagai panglima tertinggi," ujar Yati.
Kekecewaan lainnya terhada TGPF adalah, proses pemeriksaan yang terkesan lambat dan tak transparan. Bahkan Koalisi Masyarakat Antikorupsi menilai, pembentukan tim tersebut merupakan formalitas belaka.
Mereka turut membandingkan kasus penyerangan terhadap Novel dan pembunuhan di Pulomas, Jakarta Timur. Saat itu, kepolisian berhasil menangkap pelaku dalam waktu kurang dari dua hari. "Untuk kasus Novel waktu penyelesaiannya lebih dari dua tahun. Hal ini diduga karena adanya keterlibatan elite atas penyerangan Novel," ujar Yati.
Koalisi Masyarakat Antikorupsi mendesak Presiden Joko Widodo, untuk segera membentuk TGPF independen guna mengungkap kasus teror terhadap Novel. Dengan adanya pembentukan tim independen itu, Jokowi menunjukkan komitmennya dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. "Kami juga mendesak Tim Satuan Tugas menyampaikan laporannya kepada publik sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas," ujarnya.