Ahad 07 Jul 2019 14:45 WIB

TGPF Kasus Novel Baswedan Dinilai Gagal

sampai hari ini pelaku teror tidak kunjung dapat diungkap oleh TGPF

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Esthi Maharani
Anggota Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus Novel Baswedan, Hendardi (kanan) tiba di gedung KPK, Jakarta, Kamis (20/6/2019).
Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya
Anggota Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus Novel Baswedan, Hendardi (kanan) tiba di gedung KPK, Jakarta, Kamis (20/6/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Tak terasa, Senin (8/7) besok merupakan ambang batas waktu bagi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) bentukan Kepolisian untuk mengungkap teror yang menimpa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan. Namun, sampai hari ini pelaku teror tidak kunjung dapat diungkap oleh tim tersebut.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai TGPF bentukan Kapolri Tito Karnavian gagal dalam menyelesaikan  kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan.

"Sebab hingga batas waktu yang telah ditentukan yakni enam bulan pasca resmi didirikan,  tim tersebut tidak dapat mengungkap satu pun aktor yang bertanggung jawab atas cacatnya mata kiri penyidik KPK tersebut," kata Kurnia dalam pesan singkatnya, Ahad (7/7).

Diketahui, Satgas TGPF dibentuk sejak 8 Januari 2019 oleh Kapolri Tito Karnavian. Tim tersebut dibentuk berdasarkan Surat Keputusan nomor: Sgas/ 3/I/HUK.6.6/2019 yang beranggotakan 65 orang dan didominasi dari unsur Kepolisian yang tenggat waktu kerjanya yaitu pada tanggal 7 Juli 2019 atau sekitar enam bulan.

Kurnia menuturkan, sejak pertama kali dibentuk, masyarakat sudah pesimis atas kinerja tim tersebut. Pertama, kata dia, jika dilihat komposisi anggotanya, 53 orang diantaranya berasal dari unsur Polri.

"Selain itu, saat pertama kali kasus ini mencuat diduga ada keterlibatan polisi atas serangan terhadap Novel sehingga patut diduga akan rawan konflik kepentingan," ujarnya.

Oleh karenanya yang digaungkan oleh masyarakat pada saat itu yakni pembentukan Tim Independen yang bertanggung jawab kepada Presiden Joko Widodo. Sayangnya, Presiden seolah-olah melepaskan tanggung jawabnya sebagai panglima tertinggi. Padahal salah satu janji politiknya dalam isu pemberantasan korupsi yaitu ingin memperkuat KPK.

"Kedua, proses pemeriksaan yang dilakukan oleh tim tersebut sangatlah lambat dan terkesan hanyalah formalitas belaka," tuturnya.

Hal tersebut dapat terlihat ketika Tim tersebut mengajukan pertanyaan yang repetitif kepada Novel Baswedan pada 20 Juni 2019 lalu. Selain itu, hasil plesir Tim ke Kota Malang untuk melakukan penyelidikan pun tidak disampaikan ke publik.

"Ini mengindikasikan bahwa keseriusan tim tersebut patut dipertanyakan akuntabilitasnya. Sebab sejak tim dibentuk tidak permah ada satu informasi pun yang disampaikan ke publik mengenai calon tersangka yang diduga melakukan penyerangan," tuturnya.

Sementar dalam konteks waktu penyelesaian, Kepolisian dapat menangkap pelaku kasus pembunuhan di Pulomas dalam jangka waktu 19 jam pasca penyekapan korban. Sedangkan untuk kasus Novel waktu penyelesaiannya lebih dari dua tahun. Hal ini diduga karena adanya keterlibatan elit atas penyerangan Novel.

Ketiga, sambung Kurnia, tidak adanya transparansi penanganan kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. "Juka membandingkan dengan kasus pembunuhan Mirna (tahun 2016) yang menggunakan racun, Kepolisian menyampaikan prosesnya mulai dari tindakan autopsi hingga proses pemeriksaan terhadap saksi-saksi. Namun hal tersebut berbanding terbalik dengan kasus Novel," ucapnya.

Seharusnya, tambah dia, Kepolisian menangani setiap kasus secara proporsional dan setara agar tercipta keadilan. Karena intimidasi  terhadap aktivis antikorupsi bukan hanya kali ini saja.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement