Senin 08 Jul 2019 04:59 WIB

Gay Inggris, Perang Salib, Berebut Kuasa di Maluku-Mataram

Persoalan invasi kekuasaan hingga gay itu melintasi zaman dan wilayah.

Menara London
Foto:
Perlawanan rakyat Ternate. (Foto koleksi DR Muridan: Sampul buku tentang perjuangan Sultan Nuku)

Sayangnya, sebelum luka akibat Perang Salib ‘ mengering’ secara total, ternyata para penganut kedua  agama ini (Islam dan Kristen) itu kemudian bertemu dan bersaing di Maluku (kawasan timur Indonesia).

Awalnya, konflik ini sebenarnya terkait usaha sangat keras dari para penguasa Eropa kala itu untuk bisa menemukan kepulauan rempah yang kala itu baik jalur perdangan hingga sumber produksi rempah yang memang dikuasai penganut Islam. 



Soal pengaruh pedagang Muslim di Maluku itu tercermin dalam nama ‘Maluku’ sendiri yang merupakan kosa kata dari bahasa Arab (Malik), sehingga kepuluan ini terkenal sebagai kepulaun para Raja/Sultan, misalnya Kesultanan Ternate, Tidore, Raja Ampat dan lain-lain. Hingga kini banyak kepulauan di wilayah itu memakai bahasa Arab, seperti kepulauan Bintuni (anak perempuan), atau Irian (sekarang Papua, yang berasal dari kosa kata Arab  ‘Iryan atau gimbal/keriting). Kata Irian ini kemudian diplesetkan oleh Bung Karno sebagai akronom: Ini Republik Anti Nederland.



Nah, dalam catatan Antonio Pigafetta (pelaut Eropa) yang pertama kali sampai ke Maluku bahkan tercatat bila dia terkejut bila dipulau itu sudah ada orang Muslim yang mengenakan serban dan beropi putih(para Kajee/haji yang pernah ke Makkah). Mereka berbaur dengan penduduk setempat. Sorang tetua di Alor yang bermarga keluarga Oramahi, beberapa waktu silam sempat berkisah panjang lebar soal kedatangan para pelaut Eropa ini.



Dan memang, berbeda dengan pelaut Muslim yang membawa rempah, rute perjalanan Pigefatta sampai ke Maluku sangat berat, misalnya harus berayar memutari benua Amerika yang kala itu baru mereke kenal (dikenal oleh Columbus). Dia  pun harus menyeberangi Samudra Pasifik selama 98 hari. Jalur pelayaran dari Eropa menuju pulau rempat Maluku melalui Samidera Pasifik itu sama sekali tak dikenalnya. Kenyataan ini tentu berbeda dengan jalur Maluku ke Eropa yang dikuasai jaringan pedagang dan pelaut Muslim yang melalui rute selat Malaka dan India.



Pigefatta menulis begini ketika mengisahkan pelayaran ke Maluku: "Hari demi hari tidak menemukan pulau dan keterbatasan air minum selalu membayangi. Ditambah tikus, serbuk gergaji, serta kulit sebagai menu makanan.’’

Tak hanya derita selama pelayaran pertama kali menuju Maluku, komandan ekspedinya Magelhaans malahan lebih dulu mati sebelum sampauke pulau rempah tersebut. Dia mati  di-‘tawur’ penduduk lokal ketika armada ekspedisi lautnya sampai di Philipina akibat bersikap tinggi hati. Konflik dengan orang-orang Spanyol ini kemudian lestari sampai hari ini dengan menjelma menjadi perang di Moro yang membuat pusing pemerintah Philipina sampai sekarang.

Uniknya, sama dengan yang terjadi di Moro, akibat kedatangan orang Eropa ini —Inggris, Portugis, Spanyol, Belanda— kepulauan Maluku ini juga kemudian membara dalam perang penguasa. Kala itu antar Sultan di sana angkat senjata karena berebut pasokan rempah yang harganya seperti emas ketika sampai di Eropa.

Maka antarkerajaan di wilayah itu pun sengit bertikai. Orang-orang Eropa membantu dan mengompori mereka. Para raja tak sadar bahwa kedatangan orang Eropa kala itu bukan hanya ‘murni berdagang’ tapi mengamalkan semboyan ‘Gold, Glory, dan Gospel’ sebagai imbas lain geliat dari perang Salib di Eropa atau bagian Timur Laut kawasan Timur Tengah.

Akibat perang, secara perlahan pasokan rempah serta kekuasaan para Sultan yang ada di wilayah itu perlahan-lahan dikuasi. Ini membutuhkan waktu sekitar 200 tahun. Rakyatnya sengsara karena terkena tanam dan kerja paksa melalui kebijakan ‘pelayaran hongi’ (mirip Cultuur Stelsel di Jawa yang diterapkan mulai tahun 1830 atau setelah usai Perang Diponegoro).

Para raja itu di Maluku lupa —bahkan tak tahu— bahwa semenjak dahulu ada seruan Paus Urbanus II di awal perang Salib agar umatnya pergi ke negeri lain untuk mencari penghidupan dan menyebarkan agama. 

Saat itu, pada 27 November 1095,  Paus Urbanus II menyerukan kepada umat Kristiani di seluruh Eropa agar memulai Perang Salib. Tujuannya guna merebut kembali Tanah Suci (Palestina) dari umat Islam serta merebut kendali ekonomi dari kendali orang-orang yang tinggal di selatan Eropa (Moor) yang Muslim.

Kobaran api perang yang dilontarkan Paus Urbanus inilah yang kemudian memicu perang salib babak pertama tersebut disampaikan dalam khutbahnya pada penyelenggaraan Konsili Clermont, Perancis selatan.

"Wahai rakyat Frank! Rakyat tuhan yang tercinta dan terpilih! Telah datang datang kabar memilukan dari Palestina dan Konstantinopel, bahwa suatu bangsa terlaknat yang jauh dari tuhan telah merampas negara tersebut, negara umat Kristen. Mereka hancurkan negara itu dengan perampokan dan pembakaran,'' kata Paus Urbanus II kala itu.

 
 
photo
Paus Urbanus II saat menyerukan Perang Salib di Clermont, Perancis Selatan

Imbas sengatan semangat dari pidato Puas Urbanus itu ternyata di kemudian hari berbuntut sangat panjang, tak hanya di Eropa tapi hingga ke timur tengah, bahkan Maluku yang nun jauh dari sana. Orang-orang dari semenanjung Iberia seperti —Columbus, Magelhaens, Antonio Pegifata — itu kemudian terpicu menjadi pengelana laut dengan pergi ke sana yang mereka sebut juga sebagai kerajaan atas angin.

Jadi tak hanya tragis di Inggris seperti yang ditulis Fachry Ali perang salib ternyata tragis ketika sampai ke kepulauan Nusantara, bahkan kawasan Asia Tenggara dengan meletusnya konflik di Moro (Philipina Selatan), hingga kemudian ke Semenanjung Malaya (peristiwa penaklukan Malaka pada tahun 1511 M oleh Portugis.

Dan tak hanya anggota dinasti Kerajaan Inggris saja yang jadi korban, para keturunan Kerajaan Demak seperti Pangeran Pati Unus (Pangeran Sabrang Lor) dan Ratu Kalinyamat di Jepara pun menjadi korbannya saat mereka gagal total kala armada lautnya menyerbu membebaskan Malaka dari kekuasaan para orang Eropa di sana.

Alhasil, kesedihan dan kepapaan imbas perang Salib itu ternyata sampai di mana-mana, bahkan mengarungi tempat dan waktu dalam sejarah. Dan khusus untuk Inggris, Fachry sekan terlupa bahwa bala tentara kerajaan Inggris pun pada awal abad 18 pernah menyerbu dan ’merampok’ Kesultanan Mataram Jogjakarta. Harta beda dijarah, sampai kancing baju bangsawan Mataram yang terbuat dari berlian mereka preteli dan berlian sebesar jempol milik seorang putera raja yang disimpan di dalam sumur dipaksa diambil. Tak hanya itu akibat lainnya juga kemudian muncul Kesultanan Pakualaman.

Segala soal kenangan buruk tersebut  oleh Sultan Yogyakarta masa kini pernah diungkap: "Kala itu ada 40 gerobak berisi buku-buku karya pujangga Jawa diangkut pasukan Inggris (di sini ada legiun Gurkha) melalui pelabuhan Semarang. Kini buku itu menjadi koleksi British Musseum di Inggris."

Jadi kisah gay di Inggris dan juga kisah perang salib memang pilu abang? Jeritannya itu tak hanya terdengar sampai Menara London, tapi hingga ke seantero dunia! Bahkan sampai sekarang, seperti di katakan Presiden AS George Bush saat hendak berperang dengan Irak melawan Sadam Hussein pada episode Perang Teluk. Dia ternyata memakai istilah 'Crusade' (Perang Salib). Hasilnya, Irak hancur lebur dan terjebak dalam perang dan konflik sosial!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement