Jumat 05 Jul 2019 11:35 WIB

Rumah Bung Karno, PRRI, Minang, dan Serbuan Tentara Jawa

Kenangan tragedi peristiwa PRRI begitu membekas bagi orang Minang.

Rumah asli Bung Karno di Pegangsaan nomor 56.
Foto: Alwi Shahab
Rumah asli Bung Karno di Pegangsaan nomor 56.

Oleh: Doddy Yudhistira Adams, Mantan Media Deveolpment Center The Habibie Center dan Pemimpin Umum Tabloid Musik 'Mumu'.

Bukittinggi Sumatra Barat, ranah Minangkabau tempat aku dilahirkan. Ari-ariku tertanam di Jalan Birugo Bukitinggi di depan SMA Radjo (kini SMA 2) Bukittinggi. Masa aku kanak-kanak dalam pergolakan PRRI saat kota Bukittinggi yang juga ibukota Provinsi Sumatra Tengah saat itu, dibombardir oleh tentara dari Jawa. Aku mengalaminya saat itu.

Masih teringat suara dentuman meriam bertalu-talu membombadir Bukitinggi. Ketika ayahku di tangkap tentara yang di pimpin oleh A Yani, kami sekeluarga mengungsi ke Koto Gadang di rumah keluarga H Agus Salim, rumah ibu Kaharuddin. Ibuku bersama dua anak yang balita menuruni Ngarai Sianok berjalan kaki turun ke Kotogadang.

Dari kejauhan sana terus terdengar suara bom yang tetap bertalu-talu menyerang tentara pergerakan pelajar Minang. Ini perang saudara, yang membekas luka lama menyebabkan Minang jadi tarandam.

Seumur hidupku akan tercatat aku di lahirkan di Bukitinggi, jalan Birugo 31 Agustus 1954. Itulah yang menyebabkan aku terpilih menjadi votte getter Golkar tahun 1987 di Sumatra Barat dalam pemenangan Golkar. Alhamdulillah ketika itu Golkar menang lebih dari 80 persen.

Saat itu aku juga bisa memecahkan sejarah karena dalam setiap pemilu kampung asli ayahku Malalo, Golkar tidak pernah menang sehingga tertinggal dalam pembangunan. Misalnya, tidak ada listrik jalan masih jalan tanah bebatuan.

Nah, ketika aku menjadi votte getter di Malalo, Golkar unggul setelah pemilu listrik masuk di Malalo bahkan tahun 1988 di jadikan PLTA Singkarak dan Jalan pun di aspal halus.

Pada tahun 1989 saya mengajak Gubernur Hasan Basri Durin ke Malalo untuk Meresmikan Mubes IKMAL. Dalam sejarah baru pertama kali Gubernur ke Malalo dan nan mambao pulang anak Angku Adam Saleh Datuk Tan Malik Doddy Yudhistira Adams.

Jadi bagaimana pun darah Minang mengalir dalam tubuhku! Aku bangga menjadi Anak pisang Rang Minang, sebagaimana aku sangat bangga menjadi putranya Adam Saleh tokoh pendidik Sumbar yang banyak melahirkan orang-orang penting di Indonesia.

Ayahku punya sejarah dalam kehidupannya, sejak muda beliau merantau ke Jawa sekolah Mulo di Jakarta dan di lanjutkan di HIK Yogya. Menjelang zaman Jepang beliau sekolah di SGT Pegangsaan dan setiap pagi selalu ber lari-lari untuk olah raga melewati rumah IR Soekarno di kawasan Pegangsaan Timur, Menteng, Jakarta (Kini Jl Proklamasi) yang kemudian menjadi Presiden RI. Rumah itu sebenarnya rumah Habib Martak, saudagar keturunan Arab. Dia menghibahkan rumah itu untuk Bung Karno sebagai sumbangan perjuangan kemerdekaan.

Saat itu lewat rumah besar itu, ayah selalu bermimpi alangkah enaknya jika punya rumah di depan rumah Bung Karno. Asri penuh pepohonan. Secara khayal seperti yg di tulis dalam buku 'Schycosibernetige' hal tersebut akhirnya bisa terwujud. Th 1974 ayah bisa beli rumah persis di depan rumah Bung Karno (kini Gedung Pola ). Di kemudian hari koleksi karena buku-buku hasil tulisan beliau dibeli oleh pemerintah dari Proyek Inpres perpustakaan Depdikbud.

Dari rumah jalan Proklamasi itulah rumah hasil tulisan-tulisan ayah terbit menjadi buku untuk perpustakaan sekolah. Di Rumah itulah saya remaja muda yang mulai kuliah di fakultas Hukum UI. Saya menjadi anak Menteng dan terkenal sebagai Doddy Penyiar Prambors dan Doddy MC (pada acara-acara resmi) resmi maupun vocalist Manfaces Band.

Jadi, kehidupan anak Menteng menyelimutiku masa itu! Ada kesan selebritas glamorist, jadi terkenal. Dan jika jalan-jalan di Blok M selalu diserbu para tenagers (remaja) untuk minta tanda tangan dan foto bersama.

Tapi, kala itu kehidupanku sangat tidak disukai almarhum ayahku! Ayah yang selalu menjadi sparing partner dalam kehidupanku. Kami sering berdebat dan terkesan bertengkar. Namun itu sebenarnya caraku untuk menggali ilmu-ilu ayah dan juga budaya Minang.

Ya, bagi masyarakat Jawa sangat tabu berdebat dengan orang tua , makanya saudara-saduaraku menganggap aneh. Ayah dan aku selalu merindukanku untuk berdebat.

Akhirnya aku sadar bila Minang bagiku juga satu kebanggaan tersendiri, dari berkat darah Minanglah aku bisa berbicara menulis dan berpidato. Dari darah Jawa aku mendapatkan budaya unggah sungguh dalam pergaulan. Dua darah budaya mengalir dalam tubuhku, minang dan Jawa Yogya, jadilah Doddy Yudhista si Anak pisang urang Minang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement