Senin 01 Jul 2019 05:01 WIB

Oposisi Gowa dan Madura: Bisnis Kekuasaan Jawa

Memahami Jawa beserta seluk beluknya adalah memahami Indonesia moderen.

Raja Pakubuwono X ketika berkunjung ke Masjid Luar Batang 1920
Foto: Gahetna.nil
Raja Pakubuwono X ketika berkunjung ke Masjid Luar Batang 1920

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Kerajaan Mataram sebagai wakil kebudayaan Jawa yang masih eksis sampai sekarang sangat berpengaruh. Uniknya, 'tanpa disadari' dalam peta percaturan politik masa kini budaya kekuasan Jawa bagi banyak orang pun tetap 'percaya': Memahami Jawa beserta seluk beluknya budayanya adalah memahami Indonesia.

Apalagi fakta hari ini, yakni di zaman pemilu elektoral, juga menjelaskan 'bahwa 60 persen penduduk yang tinggal di luar Jawa adalah  orang (keturunan) Jawa. Mereka tersebar di mana-mana di seluruh penjuru wilayah tanah air. Jadi budaya Jawa di alam bawah sadar tetap menjadi hal sangat penting memahami gejolak zaman Indonesia moderen.

‘’Jawa adalah kunci,’’ kata DN Aidit. Sebelumnya Tan Malaka pun percaya akan arti pentingnya Jawa. Namun beda dengan Aidit, Tan Malaka sempat menggambarkan Jawa adalah kecemerlangan masa lalu. Kata dia: Jawa beda berbeda dengan Sumatra yang merupapakan kecemerlangan masa depan.’’

Ketika soal hubungan ‘politik dan ekonomi’ didiskusikan dengan pengamat sosial-politik, Fachriy Ali, yang kini tengah berada di Tokyo, Jepang, dia melalui jalur telepon mengatakan:’’Kekuasaan dalam budaya Jawa tidak melihat kekayaan, dan dengan demikian, tidak mendasarkan diri pada kekayaan.’’

photo
Fachry Ali di kuil Yasukini, Tokyo.

Nah, fenomena ini berbeda dengan kekuasaan para penguasa kerajaan di Asia lainnya. Menurutnya, misalnya kekuasaan di Tiongkok (Cina), tegak pada kemampuan mengontrol kekayaan di atas mana organisasi kekuasaan dibangun. Sementara kekuasaan Jawa dibangun dari sumber-sumber disiplin pribadi penguasa.

‘’Fakta ini diteguhkan kalimat Sultan Agung yang terkenal yang dikutip ‘Indonesianis’ Anthony Reid: Saya adalah raja dan kesatria, bukan seorang pedagang seperti raja-raja lainnya,’’ kata Fachry Ali.

Namun, lanjut Fchry,  sikap Sultan Agung tak diikuti pelanjutnya Sultan Amangkurat I. Tindakan yang berbeda ini dilaporkan Van Goens hasil percakapannya dengan Amangkurat I:

“Ia melebihi ayahnya dalam pengelolan negara. Dia melarang rakyatnya bepergian ke luar negeri, memaksa orang-orang luar datang ke negerinya untuk membeli beras, karena Mataram terkenal sebagai sumber beras bagi Batavia. Semua barang-barang yang datang ke Batavia harus melaluinya. (Maka) tak ada satu pun rakyatnya yang mampu berdagang bahkan untuk jumlah satu sen… Saya pernah memberanikan diri menasihati sang raja agar ia mengizinkan rakyatnya pergi ke luar negeri, agar menjadi kaya. Tetapi dia (Amangkurat I) menjawab:’Rakyat saya tak memiliki apapun seperti yang kamu punya, semua yang ada pada mereka berasal dari saya, dan tanpa pemerintah yang kuat saya tak mungkin menjadi raja bahkan untuk sehari saja.”

Maka, tegas Fachry, laporan Van Goens di atas membuktikan banyak hal. Di samping hasrat mengakumulasikan kekuasaan yang terpusat, curiga terhadap pergerakan rakyat karena menimbulkan tandingan kekuasaan dari yang dimiliknya.

‘’Laporan itu juga memperlihatkan dua hal pokok. Pertama, berbeda dengan penguasa Asia lainnya, kendatipun bersinggungan dengan kontrol bisnis perdagangan beras, kekuasan Jawa tak melahirkan organisasi wewenang yang didasarkan pada kekuasaan material,’’ ujarnya.

Pada soal kedua, ciri kekuasan Jawa seperti di atas itu adalah tak ada kekayaan di luar negara yang dianugerahkan oleh raja. Secara struktural ciri kekuasaan ini menyebabkan para penguasa Jawa tak mengalami benturan yang disebut ‘fiscal conflict’ antara raja dan bawahan.

‘Sebagai konsekuensinya dengan dua sifat kekuasaan Jawa seperti itu, secara struktural tidak mendorong pembangunan kekuatan militer di dasarkan pada kekuasaan finansial. Ini berbeda dengan kerajaan Inggris yang membangun teknik perpajakan untuk membiayai angkatan perangnya,’’ kata Fachry.

Imbas dari itu, lanjutnya, hal inilah yang kemudian menjelaskan mengapa Amangkurat I tak mempunyai daya tangguh secara militer ketika berhadapan dengan pasukan pemberontak yang dipimpin Trunojoyo yang didukung Pangeran Kajoran dari Bayat, Klaten, serta orang-orang Bugis dan Madura pada 1675.

Hal ini tak lain juga karena pertarungan Mataram Trunojoyo pada dasarnya pertarungan simbolik dalam bentuk kekerasan. Sejarawan MC Ricklefs melukiskan hal tersebut begini:

“Pasukan Madura Trunojoyo mendarat di Jawa dan menguasai Surabaya. Kesetiaan para penguasa wilayah pantai terpecah. Kota-kota pelabuhan dari Juwana ke timur tampaknya mendukung pemberontak, sementara kota-kota pantai yang jauh ke barat (khususnya Cirebon) masih setia pada Amangkurat I, kendatipun ada kecurigaan-kecurigaan atas tingkah laku penguasa-penguasa pantai.”

Selanjut Rickles mengisahkan:” Istana juga terbelah. Satu kelompok cenderung meminta bantuan VOC. Lainnya, dipengaruhi Panembahan Giri, berpendapat atas dasar agama tak boleh ada kerjasama dengan orang-orang Kristen. Pemberontakan sementara itu, meluas ketika para pasukan Trunojoyo dan Makassar mempunyai kemenangan lebih lanjut di wilayah-wilayah pantai. Para pemberontak menghimbau orang-orang Jawa mendukung mereka atas nama Islam dan memperoleh tanggapan positif. Panembahan Giri kini memberikan restunya, dengan berkata bahwa Mataram tak akan pernah Makmur sepenjang VOC tetap berada di Jawa.’’

photo
Suasana pengadilan yang dipimpin Sultan di Yogyakarta, pada tahun  1890. (Foto: gahetna.ni)

Himkah yang bisa diambil pada kisah itu, ujar Fachry, baik Amangkuar I maupun pemberontak sama-sama mendasarkan diri pada kekuatan simbolik. Sementara yang pertama didasakan pada gagasan kekuasaan kebudayaan Jawa, yang kedua pada simbol Islam.

Maka, seperti halnya Amangkurat I, besar dugaan bahwa kekuatan para pasukan pendukung pemberontakan Trunojoyo juga didasarkan atas kontrol dunia kekayaan material. Walhasil, dengan seluruh akibat yang destruktif yang lahir dari peperangan itu adalah kekuasaan yang mampu bertahan adalah pihak yang mendasarkan diri pada kontrol dunia material.

‘’Seperti kita lihat dalam sejarah, VOC bukan saja telah keluar sebagai pemenang di dalam pertaurang kekuasaan ini, melainkan juga membuktikan bahwa kekuasaan yang didasarkan pada kontrol atas dunia material —kecuali terkendala faktor moral dan teknikal yang muncul secara internal - akn mampu ’survive’ atau sintas,’’ ujar Fachry menasdakan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement