Ahad 07 Jul 2019 03:04 WIB

Kontroversi dan Proyeksi Situng KPU untuk Pemilu

KPU berencana memanfaatkan situng sebagai pedoman e-recap pada Pemilu 2024.

Saksi ahli dari pihak termohon Marsudi Wahyu Kisworo menunjukan data situng KPU saat memberikan keterangan pada sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) presiden dan wakil presiden di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (20/6/2019).
Foto: Antara/Galih Pradipta
Saksi ahli dari pihak termohon Marsudi Wahyu Kisworo menunjukan data situng KPU saat memberikan keterangan pada sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) presiden dan wakil presiden di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (20/6/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andri Saubani*

6 Juli 2019, pukul 09.00 WIB, Sistem Informasi Penghitungan (Situng) KPU menampilkan progres hasil penghitungan suara Pilpres 2019 di 806.698 dari 813.336 TPS. Jika dipersentasekan, rekapitulasi hasil suara pilpres versi situng adalah 99,183 persen.

Pilpres 2019 telah lama berlalu, Mahkamah Konstitusi (MK) pun telah menolak gugatan dari kubu Prabowo-Sandi yang dilanjutkan dengan penetapan presiden dan wakil presiden terpilih, Joko Widodo dan Ma’ruf Amin oleh KPU. Namun, mengapa hingga kini, Situng KPU belum juga rampung melakukan penghitungan?

Pada Selasa (2/7) KPU menggelar rapat dengan KPU provinsi terkait koordinasi mereka sebelum menghadapi sidang sengketa hasil Pileg 2019 di MK. Dalam rapat koordinasi itu terungkap, ada 12 provinsi yang data situngnya belum mencapai 100 persen.

Ketua KPU Arief Budiman, kemudian mengoreksi pengisian data situng. Ia juga menanyakan satu per satu KPU provinsi yang belum merampungkan situngnya. Menurut Arief, tidak masuk akal jika pengisian data situng belum tuntas 100 persen.  Sebab, tempat pemungutan suara (TPS) didirikan dan data dari TPS pun ada.

Namun, Arief tetap  menegaskan, bahwa secara kuantitatif, capaian rekapitulasi versi situng tetap baik meski belum 100 persen. Ia pun membandingkan dengan pilpres lima tahun lalu, di mana dengan total dari 400 ribuan TPS, data yang berhasil diunggah ke situng mencapai 98 persen. Pada Pilpres 2019, jumlah TPS sebanyak 800 ribuan TPS.

Di lain kesempatan, Komisioner KPU Ilham Saputra menjelaskan, ada beberapa alasan yang menyebabkan input data dalam situng belum juga mencapai 100 persen secara nasional. Salah satunya adalah kesalahan input oleh petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS). KPU juga tak memungkiri, hal tersebut mungkin terjadi karena kurangnya pemahaman petugas KPPS. Namun, dia menyebut pihaknya tetap berupaya menyelesaikan input data situng hingga 100 persen.

Apa pun penjelasan KPU, situng kadung menjadi sistem publikasi kekinian yang kontroversial pada pilpres tahun ini. Meski dalam situsnya, KPU mencantumkan disclaimer bahwa data yang ditampilkan di situng bukan merupakan hasil resmi penghitungan perolehan suara, publik khususnya pendukung Prabowo-Sandi banyak yang mengira bahwa situng adalah acuan penghitungan suara layaknya real count.

Kubu 02 dan pendukungnya yang sejak rampungnya hari pencoblosan pada 17 April lalu selalu ‘tertinggal’ perolehan suaranya versi situng merasa dirugikan. Ragam tuduhan pun muncul, semisal situng direkayasa sedemikian rupa agar pasangan Jokowi-Ma’ruf selalu unggul dengan tujuan pembentukan opini publik yang nantinya ikut mempengaruhi hasil rekapitulasi berjenjang (real count).

Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi pun sampai pernah menggugat Situng KPU ke Bawaslu. Dalam putusannya kemudian, Bawaslu menilai KPU terbukti melanggar tata cara dan prosedur penginputan data dalam situng, namun tidak memerintahkan KPU menghentikan proses penghitungan via situng.

Oleh BPN, sengkarut situng sampai dibawa ke sidang gugatan sengketa pilpres di MK. Tim kuasa hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menghadirkan ahli IT, Hermansyah untuk memperkarakan situng.

Hermansyah berpendapat, ada orang ketiga yang mengoperasikan perangkat situng sehingga ada pergeseran hasil antara input di KPUD dengan situng di KPU. Inti dari premis Hermansyah, jika situng salah, maka hasil real count juga salah.

Menjawab Hermansyah, KPU juga menghadirkan ahli IT di sidang MK, yakni Marsudi Wahyu Kisworo. Marsudi mengakui adanya peluang data situng bisa diedit. Pengeditan itu bisa dilakukan oleh oknum petugas KPU.

Namun Marsudi menjelaskan, yang bisa diedit adalah web situng yang menampilkan data situng. Sedangkan data situng sesungguhnya, kata Marsudi, hanya bisa diakses, diedit maupun diperiksa kembali oleh orang KPU yang bisa mengakses sistem intranet KPU. Dalam simpulannya, Marsudi yang merupakan perencana atau arsitek situng pada 2003, menegaskan, situng tidak tampak berupaya menguntungkan salah satu paslon.

Bak peribahasa “Anjing menggonggong kafilah berlalu”, KPU sepertinya akan mempertahankan eksistensi situng. Malahan, situng kini diproyeksikan sebagai hasil resmi rekapitulasi pada Pemilu 2024. Sebagai langkah awal, rekapitulasi suara berdasarkan situng (e-recap) akan terlebih dahulu diterapkan oleh KPU pada Pilkada 2020.

KPU yakin, e-recap dengan memanfaatkan situng ke depannya akan bisa menggantikan proses rekapitulasi berjenjang yang memakan waktu panjang, melelahkan, bahkan sampai memakan banyak korban seperti pada Pemilu 2019. E-voting dan e-counting mungkin masih mustahil diterapkan di Indonesia, namun e-recap, dianggap KPU menjadi jalan pintas menuju proses pemilu yang ringkas.

Sebagai wujud dari upaya transparansi KPU atas penghitungan suara pemilu yang disediakan bagi masyarakat, situng memang layak diapresiasi. Namun, apakah situng sudah bisa dijadikan pedoman rekapitulasi suara hingga layak menggantikan rekapitulasi berjenjang yang tiap jenjangnya dihadiri oleh saksi-saksi dari pihak terkait dalam pemilu? Wallahu alam.

 

*Penulis adalah jurnalis Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement