REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Muhammad Akbar, Haura Hafizhah
Ribuan pencari suaka terdampar di Indonesia dan kian tak pasti nasibnya. Beberapa terpaksa menghabiskan hari di trotoar-trotoar. Republika mencoba menyoroti persoalan tersebut. Berikut tulisan bagian kedua.
Waktu sudah menunjukkan pukul 11.00 WIB lebih. Mentari di Kalideres, Jakarta Barat, bersinar terik. Tak jauh dari Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Jakarta, di Jalan Peta Selatan, tampak seorang dengan paras asing tengah sibuk melayani pembeli di salah satu gerobak bakso.
Ia bukan pemilik usaha tersebut. Bukan juga karyawan sehari-hari. Hanya sesekali datang untuk mambantu berjualan dengan imbalan sebungkus rokok dan makan tiga kali sehari. Saat ditemui Republika beberapa waktu lalu, Mahmud (bukan nama sebenarnya), melampiaskan nelangsanya.
Pemuda itu mengklaim berasal dari Afghanistan. Keluarganya di kampung halamannya yang dikoyak-koyak perang tak berkesudahan itu sudah hampir tak ada yang tersisa. “Tinggal saya sendirian,” ujarnya dalam bahasa Indonesia yang jelas.
Beberapa tahun lalu, ia nekat menyelundupkan diri hingga akhirnya tiba di Indonesia. Setibanya di Indonesia, ia bergabung dengan para imigran lain dari negaranya di kawasan Puncak, Bogor. Dari sana, ia menantikan status pencari suaka dari UNHCR, lembaga PBB yang mengurusi para pengungsi.
Tak kunjung mendapatkan kejelasan status dari UNHCR, ia berbulan-bulan mengemper di trotoar di depan rudenim di Kalideres bersama berpuluh-puluh imigran lainnya. Saat meenggelandang di trotoar itulah ia kenal dengan penjual bakso di Kalideres dan kemudian bekerja demi makan sehari-hari.
Setahun yang lalu, ia akhirnya diputuskan statusnya sebagai pencari suaka dan tinggal di rumah singgah yang disediakan Organisasi Migrasi Internasional (IOM), tak jauh dari Kota Tua, Jakarta Utara. Bagaimanapun, ia masih terus berkunjung ke Kalideres untuk membantu berjualan dan memenuhi perut dengan makanan dan paru-paru dengan nikotin.
Mahmud tak ingin hidup seperti itu terus-menerus. “Saya menunggu dipindahkan ke mana saja asal bisa bekerja. Ke Kanada atau Australia, atau di mana saja,” kata dia.
Peraturan keimigrasian di Indonesia memang tak memungkinkan dirinya mencari pekerjaan tetap. Para pencari suaka itu memang sempat menjadi pemandangan yang diakrabi warga Kalideres. Warga yang memiliki usaha tak jarang mempekerjakan mereka dengan imbalan seadanya.
Salah seorang pedagang bakso di sana, Sofia (34 tahun), mengatakan, sekitar setahun ini, ia mempekerjakan delapan pencari suaka yang tidak diberikan upah. Meraka hanya diberi semangkuk bakso untuk menggantikan upahnya. Tak hanya dari Afghanistan, para pencari suaka yang dipekerjakan juga berasal dari negara-negara lain.
“Ya, orangnya tinggi/kok, hitam juga. Mereka menyapu, mengepel, cuci piring, mengelap piring setiap hari. Saya kasih makan saja. Ya, mereka paham bahasa Indonesia,” ucapnya kepadaRepublika, Kamis (4/7). Sofiah mulanya melihat mereka tidur di pinggir jalan tepat di depan tempat ia berjualan bakso. Ia kemudian jatuh iba dan mempekerjakan mereka.
“Lama-lama kan kenal, ya. Ya, hitung-hitung mereka bantu-bantu sambil dapat makan. Banyak si dulu, tapi sekarang udah berkurang. Tidak tahu deh pindah ke mana,” ujarnya
Sementara itu, di belakang pedagang bakso ini terdapat kontrakan. Kontrakannya berada di dalam gang. Jika malam hari, penerangan lampu pun kurang sehingga tampak gelap dan tidak terlalu kelihatan orang yang sedang berlalu-lalang.
Pemilik kontrakan di wilayah itu, Syamsuri (45 tahun), mengatakan, sukar memberi rumah tinggal bagi para pencari suaka. ''Nanti kalau saya berikan kontrakan tidak sesuai perjanjian terus dikerasin, kan kasian. Tapi, kalau mau ngasih, bayarnya tidak sesuai,” ucapnya.
Kondisi para pencari suaka yang tanpa penghasilan memang tak memungkinkan mereka mencari rumah tinggal yang layak bila tak ditampung lembaga IOM. Mereka yang tinggal di trotoar-trotoar, seperti di Kalideres dan Kebon Sirih, belakangan juga menimbulkan masalah kebersihan bagi warga sekitar.
“Imigran ini udah lebih setahun, tetapi orangnya ganti-ganti melulu. Sebelum Ramadhan tahun lalu ada tuh, terus tidak ada sudah ditampung. Beberapa bulan ada lagi rombongan sekitar 500-an. Saya bingung itu mengapa bergelombang datangnya seperti itu?\" ucapnya.
Dalam analisis yang ditulis pengajar senior jurusan Antropologi di Monash University, Antje Missbach, bersama rekannya, Wayne Palmer, yang mengajar di Universitas Binus, kondisi selepas pemilihan umum terkini di Australia bakal menyulitkan para pencari suaka tersebut.
Dalam tulisan di the Conversation itu, mereka menilai kemenangan Scott Morrison dan koalisi partainya akan mengetatkan juga kebijakan imigrasi Australia. Terlebih, saat menjabat sebagai menteri Imigrasi dan Perlindungan Perbatasan Australia (2013-2014), Scott Morrison kerap membanggakan perannya menyetok perahu-perahu yang mengangkut pengungsi dari memasuki Australia.
Pemerintahan Morrison dinilai akan melanjutkan kebijakan membatasi penempatan di Australia bagi para pencari suaka yang terdampar di Indonesia. Sejak Juli 2014, Pemerintah Australia memang telah memulai kebijakan menolak menerima pencari suaka yang telah terdaftar di UNHCR Indonesia.
Saat ini, UNHCR mencatat sebanyak 14.064 pencari suaka terdaftar di UNHCR Indonesia. Dari jumlah itu, sekitar 4.000 di antaranya merupakan anak-anak.
Sejauh ini, pendanaan dari Australia mensponsori sebanyak 8.400 pengungsi tinggal pada 81 fasilitas perumahan di Indonesia. Kendati demikian, belakangan Pemerintah Australia memangkas pendanaan tersebut yang membuat sebanyak 5.000 pengungsi tak menerima sokongan dana ataupun akomodasi perumahan.
Dengan sikap pemerintahan Australia itu, Missbach dan Palmer menilai Indonesia memiliki peran yang lebih besar melindungi para pencari suaka yang transit. Kebanyakan pengungsi tersebut harus tinggal sekitar 10 tahun sebelum akhirnya bisa ditempatkan di Australia. Sepanjang itu, mereka mengalami berbagai cabaran dan tekanan kejiwaan.
Sebagian berujung upaya bunuh diri, seperti yang terjadi di Rudenim Manado, Februari lalu. Saat itu, seturut pemangkasan bantuan hidup oleh IOM dan penolakan status dari UNHCR, sebanyak 12 imigran dari Afghanistan mogok makan dan dua lainnya melakukan aksi bakar diri. Tak ada yang meninggal dalam aksi-aksi tersebut.
Kasubag Humas Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham, Sam Fernando, menerangkan, yang bertanggung jawab terhadap pengungsi dari negara asing adalah UNHCR. Ditjen Imigrasi hanya melakukan pemantauan terhadap mereka karena statusnya sebagai warga negara asing (WNA). "Tentunya kalau yang namanya sudah mendapatkan status pengungsi, mereka di sini itu merupakan tanggung jawab dari UNHCR," kata Sam melalui sambungan telepon, Kamis (4/7).
Ia menerangkan, pihaknya hanya melakukan pemantauan terhadap para pengungsi yang menuntut nasib mereka di berbagai tempat. Pemantauan itu dilakukan atas dasar status mereka sebagai WNA. Ditjen Imigrasi baru akan bertindak jika memang ditemukan adanya pelanggaran terkait keimigrasian. n ronggo astungkoro ed: fitriyan