Kamis 04 Jul 2019 13:24 WIB

Soal Kabinet, Dedi: Serahkan Sepenuhnya ke Presiden

Partai dan semua pihak, agar jangan terlalu mendikte dan memaksakan diri.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Agus Yulianto
Ketua DPD Golkar Jabar, Dedi Mulyadi.
Foto: Republika/Ita Nina Winarsih
Ketua DPD Golkar Jabar, Dedi Mulyadi.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Ketua DPD Golkar Jawa Barat yang juga ketua TKD Jokowi-Ma'ruf Amin, Dedi Mulyadi mengajak semua pihak agar menyerahkan masalah penunjukan menteri sepenuhnya kepada presiden. Dia berharap, semua pihak tidak terlalu mendikte atau memaksakan diri mengajukan calon menteri.

Dedi memahami bahwa presiden diusung oleh partai politik karena memiliki keyakinan bahwa presiden bisa mewujudkan seluruh mimpi dan harapan masyarakat untuk hidup layak dan sejahtera. Namun, negara juga memiliki mimpi bahwa keutuhan NKRI tetap terjaga.

Oleh karena itu, kata Dedi, presiden harus dibantu para menteri yang memiliki kemampuan manajerial dan kecepatan dalam mengambil keputusan. Sehingga kecepatan presiden harus dibantu para menteri.

"Untuk itu saya memandang bahwa seluruh otoritas penunjukan menteri adalah kewenangan presiden. Tak elok rasanya kita harus mendikte presiden untuk ngomong soal penjatahan menteri," ujar Dedi dalam siaran persnya, Rabu malam (3/7).

Menurut Dedi, sebaiknya biarkan presiden memiliki otoritas untuk menentukan siapa dan dari menteri yang akan ditunjuk, tanpa harus membicarakan bahwa mereka dari partai, kalangan profesional atau dari kelompok mana pun. 

Partai dan semua pihak, kata dia, agar jangan terlalu mendikte dan memaksakan diri. Sebab, harapan masyarakat terhadap presiden adalah mendapat menteri-menteri yang sesuai dengan proporsi, kemampuan, dan akselerasi kerja sama dengan presiden. 

"Sehingga ketika jadi menteri, maka dia mengabdi kepada presiden bukan kepada partai. Itu cara membangun kinerja kabinet yang berkualitas," katanya.

Selain itu, kata dia, terkait penentuan calon menteri, presiden tidak boleh dibatasi oleh apa pun. Misalnya, presiden bekehendak mengambil nama A, B, C, D. Dia mampu pada bidangnya, kemudian orang itu secara politik kebetulan punya afiliasi dengan partai A, ya tidak masalah jika presiden berkehendak. Atau partai B, misalnya, menginginkan banyak nama untuk jadi menteri. Tapi secara kebetulan dari sisi personalitas dan postur, yang bersangkutan tidak begitu cukup mumpuni untuk bekerja pada bidang-bidang yang tersedia, ya jangan juga itu dipaksakan. 

"Jadi semuanya diserahkan ke presiden tanpa harus membicarakan profesional dan partai politik," katanya.

Di kalangan partai politik juga, kata dia, banyak orang-orang profesional. Sebaliknya, di kalangan profesional belum tentu juga dia punya kemampuan dan sesuai harapan. 

"Intinya, prefesionalisme tidak diukur oleh partai politik atau bukan partai politik," kata Dedi.

Dedi mengakui, koalisi partai sudah terbiasa mengajukan calon menteri. Tradisi itu sudah berlangsung cukup lama. Tapi tetap otoritasinya berada di presiden dan itu hak preogratifnya. Diterima atau ditolak ajuan itu adalah kewenangan presiden.

"Jadi, kalau partai mengajukan nama-nama, tapi ternyata presiden mengajukan nama lain karena dianggap layak dan mumpuni, ya no problem," katanya.

Dedi menilai, pada periode kedua ini presiden sudah tidak punya beban apa pun. Artinya Jokowi sangat tulus dalam mengambil keputusan politik.

Pada periode kedua kepemimpinan Jokowi ini, kata dia, justru pemerintahan akan berjalan efektif. Sebab, presiden bisa mengambil keputusan bebas tanpa takut menyinggung partai A, partai B dan lainnya. 

"Kan, pada periode pertama masih mempertimbangkan orang, takut tersinggung dan lainnya, karena butuh nyalon periode kedua," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement