REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Penyebab kematian puluhan ton ikan di karamba budi daya ikan air tawar di Waduk Kedungombo, wilayah Desa Ngasinan, Kecamatan Sumberlawang, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, terungkap.
Kematian berbagai jenis ikan, secara mendadak dan massal yang dibudidayakan di perairan waduk Kedungombo baru-baru ini, disebabkan oleh fenomena 'upwelling' atau fenomena pembalikan massa air.
Kesimpulan tersebut diperoleh setelah Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Semarang bersama dengan tim Dinas Peternakkan dan Perikanan Kabupaten Sragen melakukan kajian di lapangan.
Kepala BKIPM Semarang, Raden Gatot Perdana mengatakan, pihaknya merespons dan melakukan penanganan kejadian kematian massal ikan budi daya air tawar di Waduk Kedungombo bersama dengan Dinas Peternakan dan Perikanan setempat.
Seperti diketahui, puluhan ton ikan di waduk ini diketahui mati mendadak dan mengambang di perairan sejak beberapa hari terakhir. Kali pertama diketahui pada Jumat (28/5), beberapa waktu lalu.
Kematian ikan secara mendadak dan massal ini terjadi di karamba milik warga yang berada di wilayah Desa Ngasinan, Kecamatan Sumberlawang. “Menindaklanjuti informasi tersebut, BKIPM Semarang melakukan penanganan dengan pengambilan sampel ikan yang mati,” jelasnya, di Semarang, Rabu (3/7).
Bersama dengan tim Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Sragen, lanjutnya, tim BKIPM Semarang juga melakukan pengujian kualitas air di area yang terdampak serta mengumpulkan data sekunder melalui wawancara langsung dengan petani ikan setempat sebagai data pendukung.
Pengambilan sampling dilakukan di karamba yang berada di Desa Ngasinan sebanyak dua titik. “Masing- masing karamba yang berada di tengah perairan waduk dan karamba yang sudah ditarik di tepi perairan,” jelasnya.
Gatot juga menjelaskan, dari hasil analisis dan pengujian terhadap kualitas air permukaan, dihasilkan kesimpulan, karamba yang berada di tengah terungkap oksigen terlarut (DO) berada di angka 0.3 ppm dan derajat keasaman (pH) 5.5. Sedangkan karamba yang telah ditarik ke tepi diketahui DO 5 ppm dan pH 7.5.
Gejala klinis pada ikan yang mati diketahui warna tetap cerah, tidak ditemukan borok, jamur dan geripis sirip. Namun insang ikan yang mati walaupun utuh berwarna pucat, serta operculum kemerahan.
Sehingga dapat disimpulkan kematian puluhan ton ikan di karamba waduk tersebut disebabkan Fenomena 'upwelling' yang terjadi setiap tahun. Secara spesifik fenomena ini terjadi karena suhu permukaan air rendah.
Sehingga massa air di bagian bawah danau yang lebih hangat menghasilkan massa air (baik padat maupun gas) di bawahnya naik ke atas dan membawa senyawa beracun (NH3 dan H2S).
Sehingga ikan sulit bernafas karena konsentrasi oksigen sangat minimal. “Inilah yang mengakibatkan kematian masal pada ikan di karamba yang ada di waduk Kedungombo ini,” ujarnya.
Ia juga mengungkapkan, tanda-tanda awal dari fenomena upwelling ini, bisa diketahui dari adanya angin dari arah selatan dan terjadinya perubahan warna air waduk yang mulai tampak putih dan keruh.
Berasarkan hasil wawancara dengan dinas setempat, petani karamba sudah diberi peringatan awal untuk melakukan pemanenan ikan lebih awal apabila kepadatan sudah meningkat, serta melakukan penarikan karamba bila ada tanda- tanda beberapa ikan mati dan akan terjadi upwelling.
Namun peringatan ini kurang diperhatikan oleh petani karamba, karena keterbatasan perahu penarik. “Sehingga mengakibatkan terlambatnya penanganan yang menyebabkan ikan tidak bisa diselamatkan atau terlebih dahulu mati sebelum dipanen."
Setelah upaya penenganan tersebut, masih jelas Gatot, dalam dua hari terakhir kematian ikan di waduk Kedungombo sudah mulai menurun. Jenis ikan yang mati yaitu ikan nila, ikan tombro, ikan patin dan ikan mas.
Sedangkan untuk ukuran rata- rata 2-3 sampai dengan 4-6 ekor per kilogram, atau ikan yang sebenarnya sudah masuk usia panen.
Oleh karena itu, BKIPM Semarang merekomendasikan kepada masyarakat pembudidaya Karamba Jaring Apung agar ke depan melakukan antisipasi seperti rutin menguji kualitas air waduk sebagai prasyarat lingkungan untuk budidaya.
Selain itu juga mengatur kepadatan tebar dan segera melakukan pemanenan dan penarikan jaring karamba ke tepi apabila mula terjadi perubahan cuaca yang ekstrem. “Dengan begitu dampak kerugian yang diakibatkan tidak akan semakin besar,” jelas dia.