Senin 01 Jul 2019 10:15 WIB

Cegah Pelecehan, KPAI Dorong Perbaikan Sistem Sekolah

KPAI juga mendorong sekolah mengedukasi murid berani untuk bicara kekerasan seksual.

Rep: Umi Soliha/ Red: Gita Amanda
 Ilustrasi kekerasan pada anak.  (ilustrator: Ananda Luriana)
Ilustrasi kekerasan pada anak. (ilustrator: Ananda Luriana)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendorong beberapa pihak untuk memperbaiki sistem dan fasilitas sekolah untuk mencegah kekerasan seksual di dunia pendidikan. Sebab, berdasarkan data yang dimiliki KPAI sepanjang Januari-Juni 2019 banyak terjadi kekerasan di dunia pendidikan.

“Berdarkan pengamatan yang kami lakukan, menurut kami sekolah merupakan tempat yang tidak aman dan nyaman bagi anak didik. Oleh karean itu, kami mendorong beberapa pihak terkiat untuk memperbaiki sisitem yang ada,” ujar Komisioner KPAI bidang  Pendidikan, Retno Listyarti dalam pernyataan tertulis, Jakarta, Ahad (30/6) lalu.

Baca Juga

Salah satu kondisi rawan terjadi kekerasan seksual, kata dia, saat peserta didik usai berolah raga dan hendak berganti pakaian seragam sekolah. Oleh karena itu, KPAI mendorong pihak sekolah untuk menyediakan ruang khusus peserta didik berganti pakaian dengan diawasi guru piket, sehingga oknum guru pelaku tidak melakukan aksinya.

Ia juga meminta pemerintah daerah melalui APBD menganggarkan pembelian kamera pengawas (CCTV) di titik-titik rawan kekerasan seksual dan ancaman yang lain. Sebab, ia menjelaskan banyak tempat di sekolah yang rawan dan tak terawasi seperti ruang laboratorium, ruang UKS, ruang kelas, ruang perpustakaan dan di belakang halaman sekolah.

“Kami juga mendorong pihak Dinas Pendidikan setempat untuk mensosialisasikan para kepala sekolah dan guru dan agar mengedukasi anak didiknya untuk berani bicara kekerasan seksual yang dialami, baik di bawah ancaman maupun yang dalam bentuk di bujuk rayu oleh oknum guru pelaku,” kata dia.

Lanjutnya, sekolah harus membangun sistem pengaduan agar para korban tidak diam, tetapi berani mengatakan yang dialaminya. KPAI mendorong sekolah untuk menginisiasi program sekolah ramah anak (SRA).

Ia juga menambahkan, banyak modus yang dilakukan guru untuk melancarkan aksinya, salah satunya menggunakan modus memacari korban dan membuka bimbingan belajar. Untuk itu, organisasi profesi guru perlu membuat kode etik yang melarang guru memacari muridnya. Organisasi guru juga harus melarang guru memberikan les pada anak ajarnya, selain ada konflik kepentingan, juga membuka peluang terjadinya kekerasan seksual di rumah guru ybs ketika pengawasan orangtua lemah.

“Seorang siswa SD di kecamatan Pontianak Selatan, Kota Pontianak (Kalbar) menjadi korban pencabulan gurunya  dengan modus diajari matematika. Perbuatan tidak senonoh tersebut dilakukan pelaku sebanyak 5 kali di ruang kelas dan kebun dekat sekolah. Kepada keluarganya korban mengeluh sakit pada kemaluannya, kemudian menceritakan apa yang dialaminya. Keluarga kemudian melakukan pelaporan terhadap guru ASN yang berusia 47 tahun tersebut kepada polisi,” jelasnya.

Selain itu, KPAI pun KPAI mendorong Inspektorat dan Dinas Pendidikan setempat tidak hanya menghukum si oknum guru, akan tetapi juga harus mengevaluasi Kepala Sekolah. Sebab, ada indikasi lemahnya pengawasan kepala sekolah terhadap sekolah dan para gurunya yang menjadi tanggung jawabnya sebagai manajer di sekolah.

“Hal ini sekaligus mendorong kepala sekolah bersungguh-sungguh menjalankan fungsi pembinaan dan pengawasan di wilayah kerjanya, sekaligus memberikan pembelajaran dan efek jera kepada sekolah lainnya,” tuturnya.

Rekomendasi terakhir yang disampaikan Retno ialah mendorong juga para orang tua peserta didik untuk memiliki kepekaan dan mengenali perubahan sikap anak-anaknya, karena biasanya korban kekerasan seksual menunjukan perilaku ketakutan, murung dan prestasi  belajar menurun. Jika orangtua memiliki kepekaan maka kekerasan seksual dapat dicegah dan dapat segera dihentikan, anakpun dapat segera dibantu untuk rehabilitasi psikis dan kesehatan reproduksinya.

Retno juga mengatakan,  kekerasan seksual di dunia pendidikan telah mencoreng dunia pendidikan Indonesia. Terlebih, ujar dia, yang sangat disayangkan adalah pelaku kekersan seksual masih didominasi oleh guru dan kepala sekolah yang notabene berstatus mulia sebgai pendidik.

Dia menjelaskan,  dari beberapa kasus kekersan seksual yang paling banyak terjadi di jenjang sekolah Sekolah Dasar (SD), disusul di jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA). Para korban, lanjutnya, tidak hanya siswa peremuan namun juga siswa laki-laki, itu artinya anak lelaki dan perempuan sangat rentan menjadi korban kekerasan seksual di sekolah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement