Ahad 30 Jun 2019 09:43 WIB

ICW Nilai Pengawasan Internal Kejaksaan tak Maksimal

ICW menilai jaksa agung harus bertanggung jawab atas korupsi di tubuh kejaksaan.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Ratna Puspita
Asisten Bidang Tindak Pidana Umum (Aspidum) Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Agus Winoto mengenakan rompi oranye usai melakukan pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (29/6).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Asisten Bidang Tindak Pidana Umum (Aspidum) Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Agus Winoto mengenakan rompi oranye usai melakukan pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (29/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, tertangkapnya oknum kejaksaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat (28/6), membuat citra penegak hukum merosot. ICW menilai, ada yang tidak beres dalam pengawasan internal kejaksaan. 

ICW mencatat, tertangkapnya oknum kejaksaan dalam dugaan tindak pidana korupsi bukan kali pertama terjadi. Setidaknya dalam kurun waktu 2004-2018, telah ada tujuh Jaksa yang terlibat praktik rasuah dan terjaring oleh KPK.  

Baca Juga

"Hal ini menandakan bahwa proses pengawasan di internal Kejaksaan, tidak berjalan secara maksimal," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Ahad (30/6).

Terkait dengan korupsi yang selama ini dilakukan oleh oknum Jaksa, ICW setidaknya mencatat tiga pola korupsi yang kerap dilakukan. Pertama, tersangka diiming-imingi pemberian Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3) dan Surat Keterangan Penghentian Penuntutan (SKP2). 

"Tahap ini menjadi awal dari potensi korupsi terjadi, karena bagaimanapun pihak Jaksa tersebut akan berupaya agar kasus tidak sampai dilimpahkan ke persidangan," ungkap Kurnia. 

Kedua, pemilihan pasal dalam surat dakwaan yang lebih menguntungkan terdakwa, atau hukumannya lebih ringan. Menurut Kurnia, bagian ini dilakukan pada saat memasuki tahap persidangan.

Sementara, surat dakwaan adalah batasan bagi hakim ketika ingin menjatuhkan putusan bagi terdakwa. "Maka itu, jual-beli Pasal kerap terjadi pada proses persidangan," kata dia. 

Ketiga, pembacaan surat tuntutan yang hukumannya meringankan terdakwa. Poin ini, kata Kurnia, menjadi titik yang paling sering terjadi korupsi karena pembacaan tuntutan akan turut mempengaruhi putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim. 

Apalagi, surat tuntutan dapat dikatakan sebagai kesimpulan penegak hukum atas proses pembuktian dalam persidangan perihal kejahatan yang dilakukan terdakwa. Karena Itu, Kurnia mengatakan, kejadian penangkapan jaksa mengkonfirmasi bahwa penegakan hukum belum berjalan secara maksimal.

Ia mengatakan praktik-praktik korupsi masih terus menerus melanda penegak hukum. "Jaksa Agung harus bertanggung jawab atas kejadian korupsi di tubuh kejaksaan. Karena peristiwa ini sudah berulang, maka Jaksa Agung sebaiknya mengundurkan diri karena telah gagal memastikan Kejaksaan bebas dari korupsi," kata Kurnia. 

Jaksa Agung HM Prasetyo menyatakan, Kejaksaan tidak akan berkompromi untuk menegakkan hukum. Menurut dia, Jaksa yang terlibat korupsi harus dihukum. 

"Kalau ada oknum jaksa atau apapun kita tidak ada kompromi kan, kita tidak akan mencegah atau menutupi apalagi membela. kalau salah ya harus dihukum," kata Prasetyo saat dikonfirmasi. 

Prasetyo pun menjamin, kejaksaan tidak akan membela oknum yang terlibat korupsi itu. "Tidak akan kejaksaan akan membela atau melarang untuk penanganan," ujarnya menegaskan. 

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan tangkap tangan Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Agus Winoto, satu orang pengacara, serta satu pihak swasta pada Jumat (28/6). Mereka diduga memberikan atau menerima hadiah atau janji terkait penanganan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada tahun 2019.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement