Ahad 30 Jun 2019 05:01 WIB

Kisah dari Tokyo: Oposisi, Amangkurat I, dan Kekuasaan Jawa

Dalam budaya kekuasan Jawa, raja atau penguasa adalah wakil Tuhan'.

Suasana Rampokan Macan di alun-alun pusat kekuasaanJawa tahun 1900-an.
Foto:
Raja Pakubuwono X ketika berkunjung ke Masjid Luar Batang 1920

Fachry dalam soal kekuasaan Jawa yang begitu memusat menyatakan, akibatnya raja (penguasa) harus tetap waspada terhadap setiap potensi pemencaran kekuasan. Ini yang menjelaskan mengapa Syekh Amongraga, seorang tokoh ‘oposisi’ saat itu yang berasal dari Gresik, seperti dikisahkan dalam ‘Serat Centhini’, diburu panglima Wira Guna atas perintah Sultan Agung, yang ketika itu berada di desa Kanigara, Gunung Kidul. Setelah ditangkap, Syekh Amongraga kemudia dimasukkan dalam kerangkeng besi dan dalam keadaan hidup, dibuang ke Laut Jawa Selatan (Laut Kidul). Kendatipun demikian perlawanan simbolik atas supremasi kekuasaan Sultan Agung tetap tampil.

‘’Kerangkeng yang telah dibuang itu tiba-tiba berbalik ke darat —meski tanpa tubuh Syekh Amongraga. Maka di dalam dalam perspektif budaya Jawa, kita bisa menyatakan betapa sensitifnya kekuasaan terhadap tokoh yang dianggap calon tandingannya. Betapapun, Amongraga hanya sisa kekuatan Gresik yang berusaha menghindar dari 'penindasan Mataram’,’’ tukas Fachry.

Maka, di dalam konteks inilah semua pihak bisa 'mencandra' (meneliti/mengkaji) bahwa keharusan struktural bagi pemegang 'Kekuasaan' itu harus menjaga jarak dengan rakyat. Pertama karena ‘kekuasaan’ lebih merupakan upaya pribadi penguasa dalam mendapatkannya, seperti melalui disiplin ketat pemurnian diri dan dengan mengumpulkan ‘pernik-pernik’ yang dianggap berkaitan dengannya dan dianggap sebagai sumber pemberi kekuatan.

‘’Maka, misalnya Kiai Plered, tombak yang mampu membunuh apa yang disebut sebagai ‘supranutarl men’ seperti Arya Penagsang dan Kapten Tack, harus dimiliki oleh raja. Ini juga berlaku pada Kiai Becak, bendhe atau gong yang selalu di bawa ke medan laga yang bentuk suara ketika dipukul, memberi tanda kemenangan atau kekalahan di dalam perang. Dengan semua itu, maka kekuasaan Jawa tidak harus dipertangungjawabkan kepada publik,’’ kata Fachry.

Kedua, dengan konsepsi bahwa sumbernya adalah tunggal, maka kekuasaan akan berada dalam ‘bahaya’ jika berada di tengah-tengan rakyat. Rakyat, dalam interpretasi atas kekuasaan tersebut, adalah terra incognito (daerah tak dikenal atau belum didentifikasi dengan jelas).

‘’Di dalamnya terhimpun ‘kemajemukan’ kekuatan yang berpotensi menjadi tandingan kekuasaan raja. Kemunculan pergerakan rakyat dari Klaten di bawah Pangeran Kajoran serta gerak-gerik para pengembara asal Makassar menjelang runtuhnya Mataram di bawah Amangkurat I, di dalam perspetif kekuasaan ini, menunjukan betapa ‘berbahaya’-nya kerumunan rakyat,’’ tegas Fachry.

Bahkan, ujar dia, di dalam faktanya sejarah, kerumunan pengembara asal Makassar yang sukar diidentifikasikan dalam perspektif kekuasaan Jawa tersebut berasal dari pertarungan kekuasaan ’sabrang’, yaitu kejatuhan Gowa, Makassar pada tahun 1669 yang diikuti perintah dari Arung Palakka, rombongan ini bergerak ke Jawa. Setelah tak nyaman di Banten, orang-orang ini memasuki wilayah Mataram dan berdiam di Jepara. Amangkurat I menolak memberikan tempat yang sah kepada mereka, kecuali di wilayah Demung (kini disebut Besuki). Mereka inilah yang kelak bergabung ke dalam pemberontakan Trunajaya pada tahun 1675.

‘’Dominasi perspektif ‘anti-kerumunan massa’ inilah yang menjelaskan mengapa tembok keraton harus dibangun. Dalam arti bahwa di samping usaha penguasa secara pribadi menjaga, mengkonsentrasikan, dan mengakumulasikannya, kekuasan harus dijaga di dalam kungkungan fisik: tembok-tembok kraton. Kekuasaan di tangan raja sebagai sebuah keharusan struktural, melainkan juga keyakinan akan adanya potensi penyebarannya. Karena itu, sebagai salah satu usaha menjaga kekuasaan agar tidak berpencaran, tembok kraton harus dibangun, urai Fachry Ali seraya menuliskan bahwa kraton itu kemudian dihayati juga sebagai pusat dunia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement