Rabu 26 Jun 2019 07:09 WIB

Amnesty Internasional dan Dugaan Brimob Melanggar HAM

Polri minta temuan Amnesty Internasional disampaikan kepada tim kepolisian.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Elba Damhuri
Direktur Amnesty International Indonesia - Usman Hamid
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Direktur Amnesty International Indonesia - Usman Hamid

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Amnesty International Indonesia menuding satuan Brimob Polri melanggar hak asasi manusia (HAM) dalam penanganan kerusuhan 21-23 Mei 2019 di Jakarta. Lembaga pemantau HAM internasional itu mendesak agar sejumlah oknum Brimob tersebut dibawa ke muka hukum supaya korban mendapatkan keadilan.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usmad Hamid mengatakan, lembaganya telah memastikan adanya pelanggaran HAM dalam aksi penyiksaan terhadap terduga perusuh. Penyiksaan itu salah satunya saat Brimob menyisir terduga perusuh di Kampung Bali dan sekitar Sabang, Jakarta Pusat, pada tanggal 22 Mei tengah malam sampai 23 Mei pagi.

Baca Juga

“Kami meminta negara untuk melakukan investigasi, membawa anggota Brimob ke muka hukum yang menyiksa para korban, dan memberikan pemulihan kepada para korban,” kata Usman dalam keterangan tertulis yang diterima wartawan, di Jakarta, Selasa (25/6). 

Pelanggaran HAM berupa penyiksaan sebetulnya satu dari beberapa laporan hasil investigasi mandiri Amnesty Indonesia terkait kerusuhan itu. Peneliti utama dalam pelaporan tersebut, Papang Hidayat, saat konfrensi pers, Selasa (25/6), mengungkapkan, selain menyelidiki penyiksaan, lembaganya juga menginvestigasi pembunuhan terhadap terduga perusuh, penangkapan, serta penahanan yang sewenang-wenang.

Penyiksaan, kata Papang, bukan hanya terjadi di satu titik. Di Kampung Bali, ada lima korban yang mengalami penyiksaan saat satuan Brimob menyisir terduga perusuh yang berada di taman parkir mandiri (SSP) sekitar pukul 05.30 WIB. Saat itu anggota Brimob masuk secara paksa.

Papang menjelaskan, di lahan parkir tersebut ada rumah yang dalam kondisi rusak. Di dalam rumah tersebut, ada sekitar lima orang yang sedang beristirahat. Salah satunya adalah tukang parkir resmi yang tak mengenakan seragam.

Empat orang lainnya adalah pemuda yang kerap berjaga di lokasi parkir. Papang mengatakan, dari hasil wawancara dengan saksi tersebut, terungkap bagaimana anggota Brimob menangkap kelimanya dengan mengandalkan kekerasan fisik.

Petugas itu memukul di bagian kepala, menendang pada bagian dada, dan melancarkan aksi penghakiman sendiri dengan menggunakan tongkat pemukul yang membuat dua orang tak berdaya. Beberapa saksi juga, kata Papang, mengatakan bahwa salah seorang di antara kelimanya berada dalam kondisi berdarah-darah setelah dihakimi sepihak tetapi tetap diseret paksa.

Rangkaian kejadian di Kampung Bali itu, kata Papang, sempat terekam lewat video amatir dan viral di masyarakat. Amnesty Indonesia memastikan video adegan penyiksaan di Kampung Bali yang tersebar itu asli. Tim ahli dari Amnesty International memverifikasi metadata perekaman dan meyakini pelaku perekaman berada di lokasi kejadian.

Saat itu basis pasukan Brimob adalah gedung Bawaslu. Di tempat itu pula terduga kerusuhan yang berhasil ditangkap dikumpulkan.

Lima yang ditangkap dari Kampung Bali itu pun digelandang ke sana. Namun, penyiksaan tak berhenti. Sebelum kelimanya digelandang ke kantor polisi, ratusan anggota Brimob yang berada di Simpang Sarinah bergiliran melakukan beragam penyiksaan berupa tendangan, pukulan, dan aksi kekerasan lainnya.

Kepada media, Papang menunjukkan sejumlah video dokumentasi penyiksaan terhadap terduga perusuh di lokasi yang lain. Seperti video seorang pemuda belasan tahun dengan kondisi kening bercucuran darah tetapi tetap mendapat pemukulan beruntun dari anggota Brimob.

Dalam video lain yang berlatar Kedutaan Besar Spanyol, sejumlah anggota Brimob menangkap seorang laki-laki dengan cara tak manusiawi. “Salah satu anggota Brimob memukul kaki orang tersebut dengan menggunakan tongkat, sedangkan anggota Brimob lainnya menendang dari belakang,” kata Papang.

Bahkan, kata Papang, aksi penyiksaan juga menyasar sukarelawan. “Tiga anggota Brimob menghampiri pria berompi bendera Indonesia. Kemudian, tiga anggota Brimob itu menendang pria tersebut sampai terjatuh di trotoar dan dikeroyok beramai-ramai oleh anggota Brimob lainnya,” kata Papang.

Peneliti Amnesty lainnya, Aviva Nababan, menegaskan, pegiat HAM memahami aksi Brimob saat kerusuhan 21-23 Mei sebagai tindakan terhadap terduga pelaku kerusuhan. Namun, tindakan untuk menghentikan suatu ancaman harusnya berada dalam batas tertentu.

Selain itu, jika ancaman tersebut sudah teratasi dan pelaku dalam penguasaan total kepolisian, tak ada alasan pembenaran untuk terus melakukan kekerasan terhadap pelaku. Yang terjadi pada saat itu, kata Aviva, adalah penyiksaan.

"Mau itu dalam kondisi perang, dalam situasi segenting apa pun, penyiksaan tidak bisa dilakukan dan tidak bisa dibenarkan,” kata dia.

Aviva menambahkan, penyiksaan yang dilakukan Brimob tersebut bukanlah pelanggaran HAM biasa. Pembiaran tanpa adanya pengungkapan dan penegakan hukum terhadap pelaku penyiksaan membuat pelanggaran HAM yang dilakukan oleh kepolisian makin lengkap.

Kerusuhan pada 22 Mei tersebut mengakibatkan sembilan korban meninggal dan ratusan lainnya luka-luka. Empat di antara korban meninggal dipastikan akibat tertembak peluru tajam, sedangkan empat lainnya diduga kuat juga terkena tembakan. Sementara itu, untuk satu korban lainnya belum ada kepastian.

Tanggapan Polri

Menanggapi Amnesty International Indonesia, Mabes Polri meminta temuan itu disampaikan secara resmi ke tim investigasi internal kepolisian. Karo Penmas Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan, tim itu akan menindaklanjuti temuan Amnesty.

“Silakan kalau ada datanya sampaikan ke tim investigasi Polri untuk didalami,” kata Dedi lewat pesan singkatnya, Selasa (25/6). Bukan hanya dari Amnesty Indonesia, kata Dedi, setiap hasil penyelidikan mandiri oleh lembaga manapun diminta untuk disampaikan ke tim investigasi guna pendalaman.

Dedi menerangkan, tim investigasi internal itu dibentuk khusus mengungkap kerusuhan 21-22 Mei. Tim tersebut punya kerja yang paralel dengan Komnas HAM dan Ombudsman. Tim yang dipimpin Irwasum Polri Komjen Moechgiyarto itu menyelidiki sejumlah pelanggaran prosedur yang dilakukan anggota Polri.

Tim tersebut juga menyelidiki meninggalnya sembilan korban kerusuhan. Hasil invesitigasi sementara ini baru berhasil mengidentifikasi delapan korban meninggal dunia saat kerusuhan akibat peluru tajam. Peluru tajam yang mematikan itu sudah diidentifikasi menggunakan amunisi berkaliber 5,56 dan 9,00 milimeter.

Namun, Dedi pernah mengatakan bahwa tim investigasi belum menemukan jenis senjata yang digunakan untuk menembak warga sipil tersebut. Menurut Dedi, hasil resmi penyelidikan tim investigasi internal Polri akan disampaikan dalam pekan ini. “Hasilnya nanti akan disampaikan secara komprehensif bersama Komnas HAM dan Ombudsman,” ujar Dedi.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto membantah adanya tindakan kesewenangan polisi dalam menghadapi demonstran. Ia mengklaim polisi sudah melakukan prosedur yang sesuai dalam menghadapi demonstran yang menjadi pelaku kerusuhan.

Menurut dia, pelaku kerusuhan tentu akan mendapat perlakuan yang berbeda dibandingkan demonstran yang berlaku damai. "Jadi, itu dulu, jangan dicampuradukkan," kata dia, Selasa (25/6).

Ia juga mengklaim proses penyelidikan terhadap korban meninggal jalan terus. "Proses terus jalan itu," kata Wiranto.

Wiranto juga menguatkan dugaan polisi yang menyatakan kesembilan korban bagian dari perusuh. Padahal, sejumlah korban merupakan anak di bawah umur. "Yang meninggal itu perusuh yang menyerang aparat, perusuh yang kemudian melakukan penyerbuan ke institusi Brimob. Ada keluarganya, ada anaknya, tapi bukan meninggal di arena demo yang damai. Ini dibedakan dululah," kata Wiranto.

(arif satrio nugroho/amri amrullah ed: ilham tirta)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement