Senin 24 Jun 2019 08:30 WIB

Saat Mimpi Para Siswa Dikubur

Sekolah di sekolah favorit menjadi mimpi yang memotivasi siswa belajar giat.

Joko Sadewo
Foto: istimewa
Joko Sadewo

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Joko Sadewo*

Sistem zonasi penerimaan siswa terasa menyakitkan bagi banyak anak yang berprestasi, tetapi tinggal di daerah yang kebetulan tidak ada sekolah yang 'berkualitas'. Capek belajar-les-dsb, tapi tetap kalah dengan siswa belajar secukupnya tapi tinggal di dekat sekolah vaforit.

Memang ada kerangka penjelas dari pemerintah bahwa perbaikan kualitas sistem zonasi ini dilakukan secara bertahap, baik kualitas sarana dan prasana pendidikan maupun tenaga pendidiknya. Tapi tetap saja ada sekian tahun sejumlah siswa yang dikorbankan.

Mungkin pertanyaan mendasar saya apa ada yang salah dengan sekolah negeri favorit?. Sehingga pemerintah harus menghilangkan kasta favorit dan tidak favorit ini.

Pemerintah selama ini seolah berasumsi bahwa sekolah favorit muncul karena memang di sekolah tersebut isinya anak-anak yang sudah punya otak encer. Jadi seolah pemerintah menafikan kinerja guru, fasilitas sekolah, hingga sistem mengajar yang dibangun sekolah.

Boleh kita mengasumsikan bahwa basis utama prestasi adalah pribadi seorang siswa. Tapi tentu tidak boleh dinafikan bahwa sistem yang baik dan fasilitas sekolah, juga menjadi faktor yang tidak bisa dipinggirkan.

Dan yang paling tidak boleh terlupakan adalah motivasi anak. Pertanyaannya sederhana, sistem zonasi ini apakah akan membuat motivasi anak untuk belajar semakin tinggi atau justru akan menghancurkan motivasi?.

Sebelumnya, motivasi seorang anak akan sangat tinggi karena mereka punya ‘mimpi’, yaitu bisa sekolah negeri yang dipandang favorit. Dengan bersekolah di sekolah favorit maka akan membuat diri dan orang tuanya bangga.

Mimpi ini yang akan memacu motivasi. Mimpi ini yang akan membuat siswa berjuang mewujudkan mimpinya.

Pertanyaan saya kemudian, apakah salah jika anak punya keinginan untuk bisa membuat diri dan orang tuanya bangga?. Jika memang itu salah, maka boleh saja kita matikan ‘mimpi’ mereka.

Bagi saya ada hal yang dilupakan pemerintah. Mimpi sekolah di sekolah favorit adalah hal yang mendorong siswa termotivasi untuk belajar keras.

Mungkin terkesan sederhana dan remeh temeh, tapi bisa ditanya ke para siswa sekarang, apa yang membuat mereka termotivasi belajar keras?. Saya yakin jawaban salah satunya adalah ingin bersekolah yang dia idam-idamkan.

Kekhawatiran saya adalah munculnya demotivasi belajar. Di kepala siswa akan terbentuk pandangan: Tanpa belajar keraspun, selama rumah dekat sekolah, mereka tetap bisa bersekolah di sekolah favorit.

Pemerintah memang mempunyai kewajiban menghasilkan siswa yang berkualitas. Pemerintah berharap semua sekolah menjadi favorit, yang menghasilkan siswa berkualitas. Namun harus diingat bahwa motivasi belajar itu tentu ada stimulusnya.

Seringkali pula pemerintah berasumsi bahwa sekolah favorit menguatkan labelisasi siswa bodoh karena nilai Ujian Nasional (UN) jelek, alias prestasi akademiknya jelek. Tapi apakah sistem zonasi juga menjawab persoalan ini?. Saya rasa tidak.

Tidak ada jaminan sistem zonasi mendorong guru akan mengembangkan sistem berbasis minat dan bakat anak.

Harusnya pemerintah yang bertanggung jawab membuat sistem berbasis minat dan bakat, yang kemudian diterapkan di terapkan di semua sekolah. Lebih ekstrim lagi, kalau sistem UN memunculkan labelisasi bodoh, kenapa juga pemerintah tetap mempertahankan UN?.

Persoalan lain, keinginan pemerintah untuk memeratakan kualitas guru di sekolah negeri. Pemerintah menjanjikan akan merotasi guru untuk memeratakan kualitas tenaga pengajar.

Merotasi guru tentu bukan pekerjaan mudah. Bukan hanya faktor tempat tinggal guru, tapi juga persoalan otoritas kebijakan mutasi guru. Kebijakan rotasi guru kewenangannya ada di kabupaten/kota. Dan tentu saja pemerintah kabupaten/kota tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk mau menuruti kemauan pusat.

Kenapa?. Karena implikasi dari kebijakan memutasi seorang guru akan ditanggung pemerintah kota/kabupaten. Kalau berjalan lancar tentu gak ada masalah. Tapi kalau ternyata ada gejolak dari para guru yang dimutasi, siapa yang akan terkena imbas?.

Kalau pun pemerintah memaksakan diri merotasi guru, tidak ada jaminan guru berkualitas ini mampu menjaga motivasinya. Jika mereka dirotasi tanpa kerelaan, apa bisa mereka bekerja dengan maksimal?. Apa justru yang muncul adalah demotivasi?.

Dalam konteks sistem zonasi ini, penulis memahami keinginan dan niat baik pemerintah untuk meningkatkan kualitas siswa. Namun hendaknya pemerintah lebih arif dalam penerapan sistem zonasi ini.

Membangun kualitas siswa bisa digenjot dari dua aspek, siswa atau tenaga pendidik dan sarana prasarana pendidikan. Apakah sistem zonasi ini akan bisa membuat motivasi belajar siswa semakin tinggi atau sebaliknya?.

Saya justru khawatir kalau sistem zonasi ini diterapkan karena faktor utamanya adalah karena ‘biar biaya transportasi murah’ atau ‘mengurangi kemacetan di pagi hari’. Celakalah pendidikan kita kalau persoalan ‘irit’ menjadi ujung tombak pendidikan nasional kita.

*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement