Ahad 23 Jun 2019 05:13 WIB

Kompleksitas Zonasi PPDB

Zonasi alih-alih melahirkan keadilan, yang ada justru bisa memunculkan kezaliman

Mas Alamil Huda, wartawan Republika
Foto: Dokumentasi pribadi
Mas Alamil Huda, wartawan Republika

Empat belas Desember tahun lalu, pernyataan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Kemendikbud, Hamid Muhammad sudah mengindikasikan persoalan besar ada di depan mata. Penerimaan peserta didik baru (PPDB) berbasis zonasi tahun 2019 ini hampir pasti akan pelik dalam implementasinya.

Beliau bilang, “swasta harus diberi kesempatan untuk menerima, kalau enggak kan mereka (sekolah swasta) tutup. Jadi tidak mungkin semuanya ke negeri”. Ini menjawab pertanyaan, ‘bagaimana jika sekolah negeri tak bisa menampung seluruh calon siswa yang ada di suatu zona’.

Untuk sementara kita kesampingkan kuota lima persen jalur prestasi dan lima persen jalur perpindahan orang tua. Kita bicara dalam konteks 90 persen kuota berbasis zona. Dan perlu diketahui, sistem zonasi hanya untuk sekolah negeri.

Dari jawaban beliau di atas, artinya, ada calon siswa yang ‘dipaksa’ harus masuk sekolah swasta. Tak peduli latar belakang ekonomi keluarga. Di sisi lain, sekolah swasta umumnya lebih ‘berbiaya’ dibanding sekolah negeri. Lantas, bagaimana jika calon siswa kebetulan kurang mampu secara ekonomi dan kuota siswa di sekolah terdekat dari rumahnya sudah penuh? Dia harus ke swasta yang lebih ‘berbiaya’? Atau karena ketidakmampuan ekonomi orang tua, lantas tidak sekolah?

Persis, kekhawatiran ini terjadi di Surabaya. Seorang calon siswa bernama Tania Zalzabila Febrianti bahkan ikut demonstrasi ke Dinas Pendidikan Surabaya. Padahal nilai UN-nya rata-rata delapan. Ia tak diterima di sekolah negeri terdekat. Sementara ayahnya bekerja sebagai petugas keamanan tak mampu jika harus membiayai di sekolah swasta. “Saya mohon keadilannya, saya ingin bersekolah,” kata dia.

Untuk siswa dengan ekonomi kurang mampu masuk dalam 90 persen kuota jalur zonasi. Jika dalam PPDB 2018 siswa kurang mampu bisa menggunakan surat keterangan tidak mampu (SKTM), tahun ini afirmasinya berganti menjadi Kartu Indonesia Pintar (KIP) atau penerima Program Keluarga Harapan (PKH).

Tapi, di Permendikbud 51/2018 tentang PPDB 2019, persentase untuk calon siswa kurang mampu ini tak diatur detail. Pemerintah daerah diberikan kebebasan untuk menentukan sesuai kondisi di lapangan. Tetapi, prioritas penerimaan calon siswa tetap berdasarkan jarak antara rumah dan sekolah.

Apa yang dialami Tania adalah satu persoalan dari sekian problematika yang saat ini terjadi di lapangan dalam sistem PPDB berbasis zonasi. Tapi, kita juga harus fair melihat sistem zonasi ini secara lebih komprehensif.

Sistem zonasi ini substansinya adalah pemerataan pendidikan. Mendikbud Muhadjir Effendy menggunakan diksi ‘menghilangkan kastanisasi’. Inginnya, tak ada lagi stigma sekolah favorit dan tidak favorit. Anggapan sekolah favorit itu memang amat lekat di masyarakat, sampai hari ini. Maka, konsekuensinya pasti diperebutkan.

Sebelum sistem zonasi, masuk ke sekolah favorit menggunakan nilai ujian nasional atau melalui tes. Kemudian ada perkembangan, penerimaan siswa yang berprestasi nonakademik dan seterusnya. Intinya tetap, sekolah favorit di suatu daerah diburu oleh semua calon siswa (dan orang tuanya) dari daerah tersebut. Tak peduli jarak rumah ke sekolah siswa tersebut dari ‘ujung ke ujung’.

Penerimaan siswa berbasis akademik ini kemudian dievaluasi. Sebab, siswa yang disebut pandai (dalam hal akademik) jadi mengelompok di satu sekolah. Atas argumentasi pemerataan, Kemendikbud membuat sistem zonasi ini. Konsep jangka panjangnya menurut saya cukup ideal, yakni memastikan setiap anak mendapat hak pendidikan yang sama. Tak ada lagi sekolah yang difavoritkan.

Dalam sistem PPDB berbasis zonasi ini, Kemendikbud awalnya menginginkan pendaftaran calon siswa tak lagi dilakukan di bulan Juni atau Juli jelang tahun ajaran baru. Peran Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) akan dimaksimalkan. Mereka akan memetakan calon siswa masuk di sekolah mana sekaligus pembagian zona di daerahnya.

Artinya, tak akan ada lagi pendaftaran calon siswa. Sebab, siswa SD sudah ditentukan akan masuk SMP mana sebelum dia lulus. Begitu pula siswa SMP yang akan ke SMA. Pemetaan ini dilakukan berbasis jarak antara domisili siswa dan sekolah yang dipetakan dalam zona yang telah ditentukan. Belakangan, ini direvisi dan lahirlah skema seperti yang ada hari ini atau tetap melalui pendaftaran.

Persoalannya adalah, keinginan penghapusan kastanisasi ini justru dilakukan secara parsial oleh Kemendikbud. Pemerataan pendidikan seolah bisa dilakukan hanya dengan memastikan siswa yang punya kelebihan di bidang akademik tak berkumpul di satu sekolah. Padahal, pemerataan itu pasti berkelindan dengan kualitas sekolah (fasilitas, sarana/prasarana dll) dan juga guru tentunya.

Kualitas dan kuantitas sekolah adalah bagian paling penting dalam sistem berbasis zonasi ini. Kedua aspek tersebut menjadi kunci dari konsep pemerataan sekolah yang diinginkan. Jika siswa diharuskan masuk sekolah sesuai zonanya, sementara fasilitas, sarana/prasarana sekolah tersebut tak memadai, keinginan pemerataan menjadi absurd.

Persoalan kuantitas sekolah ini terbukti terjadi di Purwakarta, Jawa Barat. Ada 7.777 pelajar lulusan SMP yang tidak bisa tertampung pada PPDB 2019 ini. Sebabnya adalah daya tampung sekolah tak berbanding lurus dengan jumlah siswa yang lulus. Siswa yang lulus mencapai 17.077 pelajar, sedangkan kuota yang bisa ditampung di SMA/SMK, baik negeri maupun swasta, hanya 9.300 pelajar.

Di titik ini, sistem zonasi justru tidak adil bagi peserta didik lantaran keinginan Kemendikbud yang bermaksud menghapus sekolah favorit justru tidak diikuti pemenuhan sarana penunjang dan keberadaan sekolah secara kuantitatif. Alih-alih melahirkan keadilan, yang ada justru bisa memunculkan kezaliman.

Di sisi lain, PPDB berbasis zonasi ini adalah satu aspek dari konsep besar sistem zonasi. Karena selain siswa, guru juga rencananya akan dirotasi atau diredistribusi dalam zona tersebut.

Simulasinya begini, jika suatu zona terdapat lima SMAN. Di SMAN A ada 15 guru yang terdiri dari 10 guru PNS dan 5 guru honorer yang tersertifikasi. Sementara di SMAN B guru PNS dan guru honorer yang tersertifikasi masih sedikit. Maka sebagian guru di SMAN A dipastikan akan diredistribusi ke SMAN B.

Mendikbud Muhadjir memastikan akan merotasi guru khususnya di sekolah yang selama ini dianggap favorit. “Setelah siswa baru masuk, ada rotasi guru, terutama sekolah favorit. Dengan asumsi di sana bagus karena kinerja guru. Yang sekolah tidak bagus dapat guru bagus. Guru harus ikhlas saya minta kesediaan.”

Tapi jangan lupa, kewenangan rotasi guru ada di tangan pemda kabupaten/kota untuk SMPN, dan pemerintah provinsi untuk SMAN/SMKN. Maksudnya, koordinasi dengan pemerintah daerah mutlak adanya. Mendikbud Muhadjir pun sudah memohon untuk ini. Tapi tentu tak cukup, perlu sinergi yang apik untuk menjalankan.

Jika nantinya sistem zonasi ini diberlakukan secara utuh, jangan lupa pula formula apresiasi terhadap siswa yang berprestasi secara akademik. Ini penting. Jangan sampai muncul anggapan bahwa tak perlu nilai bagus, toh sudah ditentukan nantinya sekolah di mana.

Sejak sistem ini masih diwacanakan Kemendikbud, Harian Republika edisi Selasa, 25 September 2018 menerbitkan tulisan yang intinya agar PPDB berbasis zonasi dilakukan secara bertahap. Sistem zonasi ini harus ditopang oleh berbagai variabel yang menunjang kesuksesan program. Dari kualitas sekolah, kuantitas hingga guru yang mumpuni. Semuanya harus dikerjakan secara simultan dan perlahan, dengan perencanaan yang matang dan mempertimbangkan berbagai kemungkinan.

TENTANG PENULIS

Mas Alamil Huda, wartawan Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement