Jumat 21 Jun 2019 03:00 WIB

Nasir Djamil: Syarat Capim KPK Sesuai UU Saja

Nasir Djamil tak menampik banyak masyarakat terpapar paham radikal.

Rep: Mabruroh/ Red: Muhammad Hafil
Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil
Foto: ROL/Havid Al Vizki
Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil menilai dengan memasukan antiradikalisme sebagai syarat menjadi calon pimpinan KPK adalah tidak sesuai. Undang-undang pun menurutnya tidak menyebutkan syarat tersebut.

“Iya itu bukan syarat dari UU, tidak disyaratkan seperti itu, karena itu menurut saya (antiradikalisme) diharapkan itu tidak dijadikan sebagai patokan (capim KPK),” kata Nasir melalui sabungan telepon, Kamis (20/6).

Baca Juga

Ditambah lagi, ujarnya, pansel KPK belum cukup menjelaskan perihal maksud dari antiradikalisme tersebut dalam hal apa. Karena menurutnya, justru menjadi pimpinan KPK harus radikal dalam memberantas korupsi yang tidak ada habisnya di Indonesia.

“Radikalisme dalam hal apa, agama atau apa? pemberantasan korupsi harus radikal, kalau pemberantasan korupsi tidak radikal justru korupsi akan semakin subur,” ucapnya.

Nasir tidak menampik banyak masyarakat yang terpapar paham radikal. Namun jangan kemudian hal tersebut seolah menjadi momok menakutkan sehingga dikaitkan dengan capim KPK.

“Betul bahwa ada ancaman radikalisme di Indonesia, kita tidak bisa memungkiri. Tapi jangan kemudian pansel KPK ini jadi latah,” ujarnya.

Menurutnya, cukup BNPT saja yang menangani jika memang ada yang terpapar radikalisme. BNPT ungkapnya, cukup memberikan informasi dan masukan kepada pansel KPK jika memang capim KPK yang mendaftar tersebut memiliki riwayat tersebut.

“Cukup mendapatkan informasi dari BNPT, atau BNN kalau ada riwayat narkoba, jadi jangan sampai kemudian pansel KPK mensyaratkan itu. Jadi tidak ada di UU, itu bukan sesuatu yang disahkan UU,” ujarnya.

Nasir juga kembali mengingatkan agar pansel KPK menjelaskan maksud dari radikalisme tersebut. Apakah orang yang dengan jenggot tebal, celana mengatung, jidat hitam kemudian disebut terpapar paham radikal.

“Apa orang seperti itu radikal? Jadi sebaiknya jangan membuat syarat-syarat yang menimbulkan polemik, multitafsir, saran saya, yang diakui UU saja. Kalau ada hal-hal yang ditambah, ya itu jangan dijadikan syarat, itu sebagai tambahan untuk mendalami orang itu,” paparnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement