Kamis 20 Jun 2019 07:26 WIB

Pengamat: Permukiman Kumuh Masih Jadi Persoalan DKI

Tanpa memikirkan masalah permukiman kumuh, 'Wajah Baru Jakarta' hanya pencitraan.

Tata Ruang Kota Jakarta. Permukiman kumuh masih menjadi salah satu persoalan yang harus segera diselesaikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Tata Ruang Kota Jakarta. Permukiman kumuh masih menjadi salah satu persoalan yang harus segera diselesaikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Permukiman kumuh masih menjadi salah satu persoalan yang harus segera diselesaikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan laporan Kementerian PUPR, 118 dari 267 kelurahan di DKI atau 45 persen masih memiliki permukiman kumuh.

"Jadi kondisi seperti itu harus dilakukan perbaikan," ujar pengamat tata kota Nirwono Joga di Jakarta, Rabu (19/6).

Baca Juga

Mengutip salah satu isi dari pasal 1 ayat 1, BAB IUndang-Undang Nomor 1 Tahun 2011, perumahan dan kawasan permukiman adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh. Nirwono mengatakan program pemerintah DKI harus sesuai dengan aturan tata ruang tersebut.

"Solusinya, ada yang disebut dengan penataan bangunan sesuai peruntukannya," kata dia.

Menurut Nirwono, hunian dapat diperbaiki agar memenuhi syarat layak huni. Untuk permukiman yang masuk dalam kategori kumuh sedang, dapat dilakukan peremajaan kawasan. Misalnya perbaikan jalan saluran air dan limbah sampah.

Namun, jika tidak sesuai dengan peruntukan tata ruang, dapat dilakukan relokasi, dengan alasan permukiman tersebut rawan bencana, mulai dari banjir, kebakaran, hingga gempa. "Relokasi juga harus dilakukan dengan aturan. Pemprov harus secara tegas memutuskan status permukiman. Kemudian, menentukan tempat relokasi, kapan dan bagaimana proses pemindahannya," ujar Nirwono.

Tanpa memikirkan masalah permukiman kumuh, "Wajah Baru Jakarta," yang menjadi tema HUT ke-492 DKI, menurut Nirwono, hanya sekadar pencitraan. Nirwono juga mengatakan Pemprov DKI juga harus mengalokasikan anggaran supaya pembangunan "Wajah Baru Jakarta" tersebut sesuai dengan aturan.

"Jangan sampai Jakarta dimaknai sekedar Sudirman rasa Singapura, sementara Utara rasa Bangladesh," kata Nirwono.

Belum lagi, kata Nirwono, soal PKL yang dibolehkan berjualan di trotoar serta waduk Pluit, yang menurut dia, saat ini tidak terpelihara baik. "Kalau tidak, justru ''Wajah Baru Jakarta''menjadi kontradiktif. Membaca wajah baru jadi kebalikan sebelumnya, yang sungai bersih, sekarang justru sebaliknya, wajah kesemrawutan," ujar Nirwono.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement