REPUBLIKA.CO.ID, PONTIANAK -- Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura Pontianak Erdi, menilai, fenomena kawin kontrak di Kalimantan Barat semakin marak. Pasalnya kawin kontrak telah menjadi lahan bisnis bagi 'makcomblang' atau perantara pencari jodoh yang memanfaatkan hal ini.
Menurutnya, kisah sukses pelaku kawin kontrak berubah menjadi ladang bisnis bagi segelintir orang untuk mendirikan kantor atau agen atau biro jodoh berjalan.
Sementara, bagi keluarga pelaku kawin kontrak yang gagal akhirnya banyak mengadu ke kepolisian sehingga menjadikan fenomena kawin kontrak ini timbul tenggelam ke publik bagaikan "ikan buntal".
Fenomena itu masih terjadi meskipun dengan modus operandi yang berubah ke arah lebih rapi, senyap dan dalam jaringan terbatas. "Oleh karena itu, pemerintah tidak boleh berhenti menginventarisasi semua modus operandi yang mengarah pada kawin kontrak ini dan harus menekan kasus ini tidak terulang di masa depan," ujarnya, Rabu (19/6).
Untuk itu, dia berharap modus Negara dalam menumpas peristiwa ini tidak boleh kalah canggih dengan trik para makcomblang.
Menurut dosen Fisipol Untan Pontianak ini, kasus kawin kontrak dapat dibedakan ke dalam dua kategori. Pertama, kawin kontrak yang melibatkan amoy (gadis keturunan Cina/Tionghoa dalam negeri) dengan pria luar negeri.
Untuk kawin kontrak kategori pertama, jenis ini lebih berorientasi materi dan ekonomis karena tidak melalui proses panjang (instan). Selain itu juga tidak menggunakan peraturan negara, apalagi menggunakan dokumen.
Sampai hari ini, pria asing itu didominasi dari Taiwan, Singapura, Malaysia, Hongkong, dan Cina.
Kategori kedua adalah kawin kontrak yang terjadi di wilayah perbatasan negara antara pria luar negeri sempadan dengan gadis lokal pada kawasan perbatasan, yang umumnya dilandasi oleh kesamaan suku. Perkawinan ini dilakukan melalui proses adat yang panjang, meskipun dalam kasus tertentu tidak selamanya dalam satu garis keturunan suku.
Dia mengaku tidak sepakat jika jenis perkawinan yang kedua ini disebut kawin kontrak, tetapi lebih tepat bila disebut kawin secara adat. Namun, kesamaan dari kedua tipologi kawin di atas adalah sama-sama tidak menggunakan institusi dan tidak juga memakai dokumen negara sebagai basis atau alas terjadinya pernikahan.
Berlangsung lama
Fenomena kawin kontrak bukanlah peristiwa baru di Indonesia, khususnya di Kalimantan Barat. Kawin kontrak tipe pertama marak terjadi sekitar 2013, sementara kawin kontrak kedua telah berlangsung lama di kawasan sepanjang perbatasan.
Pada awal kemunculan fenomena kawin kontrak yang melibatkan Amoy di Kota Singkawang ini berjalan bagus pelaku kawin kontrak banyak yang sukses ketika kembali ke Kota Singkawang. Namun, lama kelamaan, terjadi banyak penyimpangan dan terakhir banyak kisah sedih yang dialami oleh pelaku sebagai korban dari kawin kontrak.
Erdi mengatakan bahwa negara lalai dalam mengantisipasi fenomena ini dan baru tersentak setelah timbul kasus memilukan yang dialami oleh korban dari hasil proses kawin kontrak ini.
Singkawang merupakan kota tempat terjadinya banyak peristiwa kawin kontrak yang melibatkan gadis keturunan Cina dengan laki-laki luar negeri. Kehidupan ekonomi yang minim dan rendahnya pendidikan orang tua serta usia amoy yang masih belia (di bawah umur) diduga menjadi faktor-faktor mulusnya proses kawin kontrak.
Keinginan amoy dari keluarga miskin untuk segera lepas dari kehidupan kemiskinan di satu sisi menjadi motif mereka mendaftar ke perantara. Namun tidak semua amoy yang menikah dengan pria asing itu menjadi kaya. Latar belakang pria yang akan menikahi Amoy juga tidak pernah jelas sebelum Amoy itu tiba di Negara suami.