REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua menilai langkah Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023 untuk melacak rekam jejak para kandidat melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sangatlah aneh. Menurut dia, ada ketakutan dari Presiden Joko Widodo lantaran banyak menteri di eranya yang terjerat kasus korupsi.
"Aneh (melibatkan BNPT), apakah disebabkan koruptor yang ditangkap KPK selama ini mereka dari kalangan koalisi Jokowi sehingga dianggap radikal?" kata Abdullah dalam pesan singkatnya, Selasa (18/6).
Ia pun menilai ada ketakutan yang dimiliki para pansel capim sehingga mengajukan konsep aneh tersebut. Salah satunya adalah belum terungkapnya siapa penyerang dari penyidik senior KPK Novel Baswedan.
"Apakah takut orang seperti Novel Baswedan terpilih sebagai komisioner KPK?," ujarnya.
Menurut Abdullah, Pansel Capim KPK saat ini lebih condong ke kepolisian. Padahal, kata dia, salah satu alasan dibentuk KPK karena Polisi dan Kejaksaan tidak berhasil memberantas korupsi.
Ia pun berharap agar nantinya calon pimpinan KPK haruslah orang yang sudah selesai dengan dirinya. "Artinya, anaknya sudah selesai kuliah, sudah punya rumah sederhana dan kendaraan sederhana. Itu berarti calon sudah berumur 56 tahun. Dengan demikian, dia masuk KPK bukan untuk cari jabatan dan fasilitas. Dia hanya mewakafkan dirinya untuk memberantas korupsi," tuturnya.
Kedua, selama korupsi masih marak seperti sekarang, ia menilai sebaiknya untuk sementara calon tidak berasal dari kepolisian dan kejaksaan. Ketiga, calon harus membuat akta integritas dengan masyarakat bahwa mereka akan membongkar kasus megakorupsi yang melibatkan elite politik, konglomerat, pejabat tinggi negara, bahkan presiden, wakil presiden, dan mantan presiden dan mantan wakil presiden.
"Kasus-kasus besar antara lain BLBI, e-KTP, kasus reklamasi, dan lainnya," ujarnya.
Keempat, lanjut dia, para calon pimpinan KPK haruslah mereka yang jelas rekam jejaknya mulai dari SMA, universitas, sampai prestasi selama bekerja. "Terakhir, tahap terakhir seleksi, hendaknya calon discaning otaknya untuk diketahui apakah dia punya potensi korupsi atau tidak, termasuk diperiksa apakah calon punya DNA korupsi dalam tubuhnya," ujarnya.
Sebelumnya, menurut Ketua Pansel Capim KPK Yenti Ganarsih, digandengnya BNPT lantaran berbagai dinamika yang terjadi berkaitan dengan radikalisme. Pansel tidak mau kecolongan ada calon yang punya kecenderungan radikalisme.
Adapun penilaian terhadap calon komisioner KPK yang mendaftar nanti dapat dilakukan dengan menggunakan tes psikologi klinis dan meminta data dari BNPT. Tes tersebut akan melihat bagaimana kecenderungan seseorang bisa terpapar radikalisme.