REPUBLIKA.CO.ID, UNGARAN -- Ratusan hektare lahan pertanian (sawah) di wilayah Desa Kawengen, Kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, dilanda kekeringan. Sebagian dari luasan lahan pertanian ini bahkan dipastikan gagal panen.
Karena tanaman padi yang terlanjur ditanam mati karena tidak lagi mendapatkan air. Sementara tanaman padi yang telah berbulir terpaksa dipanen sebelum waktunya, karena sudah tidak bisa dipertahankan lagi.
Akibatnya para petani di sejumlah dusun yang ada di desa ini pun dipastikan bakal merugi, karena ‘panen terpaksa’ ini hasilnya tidak bisa optimal. “Karena gabah yang dipanen ini banyak yang kopong (tak berisi; red),” ujar Asroni (56 tahun), salah seorang petani, Dusun Gendurit, Desa Kawengen.
Ditemui saat memanen padi yang mengering di sawahnya, Asroni mengungkapkan, saat musim penghujan atau hasil panen bagus, satu petak sawah yang digarapnya bisa menghasilkan setidaknya 16 bagor (karung plastik) gabah.
Rata-rata per bagor, jika sudah diselep, mampu menghasilkan 10 hingga 12 kilogram beras. “Kalau sekarang ini saya pesimistis, karena gabahnya masih banyak yang tak berisi,” ungkapnya.
Bahkan, lanjutnya, ia megaku ‘panen terpaksa’ kali ini hanya mampu menghasilkan gabah kurang dari 10 bagor. Karena umur tanaman padi yang digarapnya tersebut sebenarnya masih kurang.
Selain itu, mutu beras yang dihasilkan pun juga kurang bagus dan pasti banyak yang pecah jika diselep, karena sebenarnya belum cukup umur. Idealnya, lanjut Asroni, tanaman padi ini baru bisa dipanen minimal setelah umur 100 hari atau tiga bulan 10 hari.
Namun tanaman padi yang dipanen tersebut baru berumur 2,5 bulan lebih sedikit, setelah sejak awal Mei lalu sudah tidak mendapatkan air. Pada saat kekurangan air, lanjutnya, sebelumnya tanaman padi ini ini sudah mulai mratak (menghasilkan gabah yang berbulir; red).
Hal serupa diungkapkan Sundarti (51), pemilik sawah lainnya. Panen terpaksa ini dilakukan para petani yang ada di wilayah Dusun Gendurit ini sebenarnya untuk menghindari kerugian yang lebih besar. Ia menjelaskan, satu petak sawah berukuran 2.500 meter persegi yang digarapnya membutuhkan biaya tanam sekitar Rp 1 juta.
Mulai dari membajak dengan traktor, membeli benih, membayar buruh tanam, hingga pengadaan pupuk. Sehingga petani juga sudah tahu bakal merugi, karena hasil panen tersebut tidak akan maksimal, baik dari kuantitas maupun kualitas beras yang dihasilkan. “Kalaupun beras ini nantinya tidak bisa dijual, setidaknya bisa dipakai untuk kebutuhan sendiri,” tegasnya.
Terpisah Kepala Desa (Kades) Kawengen, Marjani, mengamini jika ratusan hectare sawah yang ada di wilayah desanya mulai terdampak musim kemarau. Karena sebagian besar lahan pertanian (sawah) yang ada di desanya merupakan lahan pertanian tadah hujan.
Dijelaskan, total luasan lahan pertanian di Desa Kawengen mencapai 394,88 hektare, yang tersebar di lima dusun. “Dari jumlah ini sebanyak 113,60 hektare di antaranya merupakan lahan pertanian berupa sawah tadah hujan. Sedangkan sisanya sebanyak 281,28 hektare merupakan lahan tegalan,” katanya.