Senin 17 Jun 2019 13:40 WIB

Sembilan Kriteria Ideal Pimpinan KPK

Banyak catatan yang dapat dijadikan pembelajaran serta evaluasi untuk KPK mendatang

Gedung KPK
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Gedung KPK

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi menyebutkan terdapat sembilan kriteria ideal yang harus dimiliki oleh para pendaftar calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023.

"Berkaca pada era kepemimpinan saat ini, sebenarnya banyak catatan kritis yang seharusnya dapat dijadikan pembelajaran serta evaluasi untuk KPK mendatang," kata Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (17/6).

Adapun sembilan kriteria itu, pertama mempunyai visi terkait pencegahan dan pemberantasan korupsi. Sejatinya, kata dia, dalam memahami pemberantasan korupsi tidak hanya terbatas pada pemidanaan penjara saja, akan tetapi ke depan pimpinan KPK harus juga berfokus pada isu pemulihan kerugian negara.

Kedua, memiliki pemahaman penanganan perkara korupsi. Salah satu aspek yang dominan diperhatikan publik sebagai tolak ukur penilaian KPK adalah bidang penindakan.

"Maka dari itu, pimpinan KPK ke depan mesti memahami lebih dalam terkait dengan hukum agar langkah-langkah yang diambil menjadi tepat guna dalam rangka keberlanjutan penanganan perkara korupsi. Ini juga untuk mempercepat penyelesaian berbagai tunggakan perkara di lembaga itu," tuturnya.

Ketiga, memiliki kemampuan manajerial dan pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM). "Seperti yang telah diketahui oleh publik bahwa lembaga KPK kerap kali bersifat dinamis. Tak jarang konflik di internal KPK terjadi, maka dari itu pimpinan KPK mendatang mesti mempunyai pengetahuan serta kemampuan untuk memastikan internal lembaga antikorupsi tersebut solid serta terlepas dari kepentingan apapun," ungkap Kurnia.

Keempat, tidak mempunyai konflik kepentingan dengan kerja-kerja KPK. "Tentu masyarakat tidak berharap pimpinan KPK ke depan justru memanfaatkan situasi tertentu untuk kepentingan individu semata karena bagaimanapun menjadi sesuatu yang penting untuk tetap menjaga nilai objektivitas untuk para komisioner KPK mendatang," ucap Kurnia.

Kelima, terlepas dari kepentingan dan afiliasi dengan partai politik tertentu. "Poin ini harus dijadikan catatan penting karena bagaimanapun jika komisioner KPK mendatang berasal dari warna partai tertentu dikhawatirkan meruntuhkan nilai independensi dari lembaga antirasuah itu. Lagipun isu penegakan hukum tidak mungkin akan berjalan dengan baik jika dicampuradukkan dengan isu politik," tuturnya.

Keenam, memiliki kemampuan komunikasi publik dan antarlembaga yang baik. "Berangkat dari catatan atas evaluasi pimpinan KPK saat ini masih banyak ditemukan berbagai pernyataan yang justru menimbulkan polemik di tengah masyarakat," kata Kurnia.

Ketujuh, tidak pernah terkena sanksi hukum maupun etik pada masa lalu. "Poin ini menjadi mutlak harus dipenuhi oleh para pimpinan KPK mendatang, karena bagaimanapun persoalan etik serta terkena sanksi hukum akan menurunkan kredibilitas lembaga antirasuah itu. Selain itu, akan menjadi beban tersendiri bagi pimpinan KPK ketika menjalankan tugas," ucap Kurnia.

Kedelapan, memiliki keberanian untuk menolak segala upaya pelemahan institusi KPK. "Hampir setiap tahun KPK selalu didera dengan isu-isu pelemahan KPK, mulai dari revisi UU KPK, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bahkan tindakan kriminalisasi beberapa pegawai maupun pimpinan KPK," tuturnya.

Kesembilan, mempunyai profil dan karakter sesuai dengan nilai dasar dan pedoman perilaku KPK. "Hal ini diatur secara spesifik dalam Peraturan KPK Nomor 07 Tahun 2013 tentang Nilai Dasar Pribadi, Kode Etik, dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam aturan ini tertera berbagai nilai yang semestinya dimiliki oleh pimpinan KPK, misalnya integritas, keadilan, dan profesionalisme dalam menjalankan tugas," kata Kurnia.

Adapun Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi terdiri dari ICW, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI FHUI), Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Transparency International Indonesia (TII), Saya Perempuan Antikorupsi (SPAK), dan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta).

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement